Perdebatan dalam rumah tangga tak mungkin terhindarkan. Namun, ketika situasi mulai memanas antara Moms dan pasangan, pernahkah Moms menyadari dampaknya pada si Kecil yang dianggap tidak mengerti?

Pertengkaran yang destruktif

Mark Cummings, psikologis di Notre Dame University menjelaskan bahwa konflik adalah bagian dari pengalaman sehari-hari, sehingga yang perlu digarisbawahi dari pertengkaran suami-istri bukanlah pertengkarannya, namun bagaimana konflik tersebut diutarakan dan diselesaikan, terutama bagaimana hal ini membuat anak merasakan dampaknya. Ketika melihat orang tuanya menyelesaikan konflik dengan baik, anak-anak juga tumbuh dengan baik.

Cummings dan Patrick Davies dari University of Rochester mengidentifikasi cara destruktif yang digunakan orangtua dan membahayakan anak, yaitu agresi verbal, fisik, taktik mendiamkan, dan kapitulasi/menyerah. Agresi verbal, seperti umpatan, hinaan, dan ancaman. Agresi fisik meliputi pukulan atau dorongan kasar. Taktik mendiamkan adalah menghindari, pergi, merajuk, atau menarik diri. Kapitulasi atau menyerah tampak seperti solusi, tetapi bukan yang sebenarnya.

Ketika Moms menggunakan teknik tersebut untuk bertengkar dengan pasangan, beberapa anak menjadi bingung, khawatir, cemas, dan putus asa. Beberapa lainnya mungkin bereaksi keluar dengan kemarahan, menjadi agresif, dan bermasalah dengan perilaku di rumah dan sekolah. Stres yang mereka alami mengganggu kemampuan belajarnya dan berdampak pada turunnya prestasi di sekolah.

Dampaknya pada anak

Pertengkaran orangtua juga bisa berdampak negatif pada kesehatan anak. Selain dapat mengalami gangguan tidur, anak juga bisa mengalami sakit kepala, sakit perut, atau seringnya jatuh sakit secara umum. Sebagian besar anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan konflik destruktif bermasalah dalam membentuk hubungan yang sehat dan seimbang dengan teman sebayanya.

Lalu, bagaimana cara menyelesaikan konflik dengan baik walau kepala rasanya mendidih? Moms dapat mengikuti saran dari para ahli, ketika anak-anak berada di sekitar sehingga dapat mendengar atau melihat, sebaiknya hadapi konflik dengan bernegosiasi dan berkompromi. Hal ini dapat dijadikan contoh untuk anak dalam mengelola konflik. Sebaliknya, masalah yang lebih pribadi sebaiknya dibicarakan berdua saja, misalnya tentang seks atau persoalan keluarga. 

Berikut tip menyelesaikan konflik, menjaga hubungan yang penuh kasih, dan menjadi panutan dalam menyelesaikan masalah yang efektif untuk anak-anak menurut terapis keluarga, Sheri Glucoft Wong:

  1. Mulai dengan empati. Buka obrolan dengan membiarkan pasangan tahu bahwa Moms memahaminya, menempatkan diri pada posisi mereka
  2. Ingatlah bahwa Moms dan pasangan berada di “tim” yang sama. Atasi masalah dengan melihatnya bersama-sama alih-alih menggali kesalahan pasangan. Dengan begitu, keduanya memecahkan masalah dan menemukan solusinya bersama.
  3. Kritik konstruktif hanya berlaku ketika pasangan dapat melakukan sesuatu atas apa yang telah terjadi. Jika tidak ada yang bisa dilakukan, perbaiki situasinya sebaik mungkin dan bicarakan bagaimana memperbaikinya di waktu lain. Menyalahkan tidak akan memperbaiki apa pun yang sudah terjadi.
  4. Apa pun yang harus dikatakan, sampaikan dengan baik. Ketidaksetujuan, kekecewaan, kekesalan, semua bisa ditangani lebih baik dengan kebaikan.