Hipertensi selama masa kehamilan merupakan kondisi yang tidak boleh diabaikan karena bisa berakibat serius, bahkan bisa mengundang kematian. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, hipertensi menyumbang 32% terhadap kematian ibu di Indonesia. Secara keseluruhan, angka ini membuat Indonesia berada di peringkat dua dengan  jumlah kematian ibu tertinggi di Asia Tenggara, setelah Laos. Sementara menurut WHO, kasus preeklamsia tujuh kali lebih banyak di negara berkembang dibanding negara maju.

Lalu, apa hubungannya hipertensi dengan preeklamsia? Hipertensi merupakan gejala awal preeklamsia. Preeklamsia dapat dialami oleh Moms yang usia kehamilannya lebih dari 20 minggu. Ini merupakan komplikasi kehamilan serius, yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah disertai protein dalam urin. Pada beberapa kasus,  terdapat pembengkakan di beberapa bagian tubuh. Preeklamsia harus segera ditangani sebelum menjadi eklamsia yang mengancam nyawa Moms dan janin.

Para ahli meyakini penyebab preeklamsia adalah plasenta yang berfungsi menyalurkan darah dan nutrisi ke janin tidak berkembang baik akibat gangguan pembuluh darah. Selain itu, faktor berikut juga dapat memicu gangguan pada plasenta:

  • Memiliki riwayat diabetes, hipertensi, penyakit ginjal, penyakit autoimun, dan gangguan darah
  • Pernah mengalami preeklamsia pada kehamilan sebelumnya
  • Pertama kali hamil
  • Hamil lagi setelah 10 tahun
  • Hamil di usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 40 tahun
  • Mengandung lebih dari satu janin
  • Mengalami obesitas saat hamil atau memiliki indeks massa tubuh (IMT) ≥30 kg/m2
  • Hamil dengan metode bayi tabung (in vitro fertilization)
  • Memiliki riwayat preeklamsia dalam keluarga

Berdasarkan informasi dari National Health Service Britania Raya, hendaknya segera minta pertolongan medis bila muncul gejala berikut:

  • Tiba-tiba muncul pembengkakan pada wajah, kaki, tangan, dan mata
  • Tekanan darah lebih dari 140/90mmHg
  • Berat badan naik dalam 1 atau 2 hari
  • Nyeri pada perut bagian atas dan kepala yang parah
  • Mual dan muntah
  • Penglihatan kabur
  • Frekuensi dan jumlah urin berkurang
  • Setelah diperiksa, terdapat protein dalam urin

Preeklamsia hanya dapat diobati setelah melahirkan. Biasanya, dokter akan memberikan obat sambil terus memantau  kondisi Moms. Bayi yang lahir dari kondisi preeklamsia umumnya prematur dan memiliki berat badan lahir rendah (BBLR). Kemungkinan juga muncul masalah di masa pertumbuhannya, seperti gangguan fungsi kognitif, masalah penglihatan, dan pendengaran.

Risiko preeklamsia dapat dikurangi dengan beberapa cara, yaitu:

  • Melakukan kontrol rutin selama kehamilan
  • Mengontrol tekanan darah dan gula darah jika memiliki kondisi hipertensi dan diabetes sebelum kehamilan
  • Menerapkan pola hidup sehat, antara lain dengan menjaga berat badan ideal, mencukupi kebutuhan nutrisi, tidak mengonsumsi makanan yang tinggi garam, rajin berolahraga, dan tidak merokok
  • Mengonsumsi suplemen vitamin atau mineral sesuai saran dokter