Tidak hanya berat badan, BBLR juga memengaruhi tumbuh kembang bayi di kemudian hari. 

Bayi berat lahir rendah (BBLR) tidak hanya menimbulkan kekhawatiran bagi orangtua, tapi juga dunia. Kelahiran prematur dan BBLR merupakan penyebab tidak langsung dari kematian neonatal. BBLR berkontribusi hingga 60%-80% dari semua kematian neonatal-kematian yang terjadi sebelum bayi berusia satu bulan. WHO memperkirakan, secara global, 15,5% atau sekitar 20 juta bayi, lahir dengan BBLR, dan 96,5% di antaranya di negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Bagaimana dengan di Indonesia? 

Data dari Riset Kesehatan Dasar 2013, Departemen Kesehatan, menemukan, 10,2% bayi lahir dengan BBLR dari semua kelahiran baru pada tahun 2013. Kasus tertinggi terjadi di Sulawesi Tengah (16,9%) dan terendah di Sumatera Utara (7,2%).

Risiko BBLR 

BBLR sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2.500 gram (2,5 kg). Bayi yang lahir dengan berat badan rendah, memiliki risiko tinggi mengalami cacat neurologi (kelainan pada sistem saraf) jangka panjang, gangguan perkembangan bahasa, mengalami hambatan dalam pencapaian akademik, dan meningkatnya risiko penyakit kronis termasuk penyakit kardiovaskular dan diabetes. 

Penelitian yang dipublikasikan Iranian Red Cresent Medical Journal tahun 2014 menyebutkan, bayi dengan BBRL berisiko tinggi mengalami keterbelakangan mental dan /atau cerebral palsy. Risiko mengalami gangguan kognitif, perhatian, dan motorik juga lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang berat lahirnya normal. Dan, risiko kecacatan tersebut lebih tinggi terjadi pada anak laki-laki. 

Cegah BBLR

Karena itu mencegah BBLR perlu dilakukan sejak dini, tepatnya sejak bayi berada di dalam kandungan. Bila terlanjur lahir dengan BBLR, berat badannya bisa ditingkatkan dengan pemberian kolostrum dari ASI  atau susu yang diformulasikan khusus untuk memenuhi kebutuhan bayi BBLR.