Rasanya tidak cukup dibuat ketakutan oleh virus, tingginya kemungkinan PHK, hingga beban ganda akibat pandemi,Covid-19 juga membuat beberapa orang terperangkap dengan hubungan yang tidak sehat dengan pasangan, selama 24 jam, 7 hari dalam seminggu. Kondisi pandemi yang membuat masyarakat berdiam di rumah untuk memutus rantai penularan ini menyebabkan tingkat kekerasan dalam rumah tangga meningkat. 

Peningkatan kasus kekerasan

Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), sejak 14 Maret – 22 April 2020, terdapat 106 korban kekerasan terhadap perempuan, 67 di antaranya mengalami KDRT. Selain di tanah air, peningkatan kasus juga terjadi di Prancis yang melaporkan kasus kekerasan naik hingga 30%. Bahkan tetangga terdekat, Singapura, juga mengungkapkan  adanya  peningkatan laporan melalui call center, yang mencapai  33%. 

Walau begitu, jauh sebelum terjadinya pandemi, kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi “wabah” sendiri bagi perempuan. Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) mencatat, sebanyak 243 juta perempuan usia 15 – 49 tahun atau 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan oleh pasangannya pada setahun terakhir.

Ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan semakin melanggengkan praktik kekerasan, ditambah faktor lain saat pandemi, seperti persoalan ekonomi, dan kondisi psikis yang tidak stabil. Mirisnya lagi, tidak banyak Moms yang berani untuk melaporkan hal ini karena takut dan menganggapnya sebagai masalah internal rumah tangga. Survei terhadap 2.285 orang, menemukan, sebanyak 79 persen memilih diam saat menerima kekerasan. 

Diamnya perempuan bukan tanpa alasan. Ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Apalagi, perempuan termasuk dalam kelompok minoritas dalam aspek perlindungan hukum dan norma. Layanan terhadap korban kekerasan di Indonesia masih kurang memadai. Itulah mengapa, dalam mewujudkan lingkungan yang tidak mengabaikan hak-hak korban, perlu regulasi yang melindungi korban. Setidaknya, saat ini terdapat alternatif pengaduan, yaitu kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau organisasi non-profit perempuan. Moms akan didampingi dalam mendapatkan keadilan.

Tak hanya fisik 

Kekerasan yang dilakukan tidak terbatas pada fisik, Moms, tetapi juga psikologis dan emosional. Terkadang seseorang tidak sadar bahwa yang ia alami juga termasuk kekerasan. Bentuknya dapat berupa menakut-nakuti, mengendalikan, hingga mengisolasi. Tanda lain yang mungkin luput adalah tindakan menghina, meniadakan, dan mengkritik. Taktik ini dimaksudkan untuk merendahkan harga diri, misalnya mempermalukan di depan umum, bentakan, dan meremehkan.

Tindakan mengontrol dilakukan salah satu pihak merupakan caranya untuk merasa berkuasa. Tak jarang hingga mengancam, memata-matai kegiatan digital, memerintah, memperlakukan layaknya anak kecil. Pelaku ingin membuat hierarki di mana ia berada di atas dan pihak lainnya di bawahnya. Mereka mengabaikan kebutuhan emosional pasangan dan hanya mementingkan dirinya. Melarang pasangan bersosialisasi, sehingga tidak memiliki siapa-siapa dan bergantung padanya juga bentuk abusive dalam hubungan. 

Cinta itu setara, saling menghargai, dan menguntungkan kedua pihak. Jangan menjadikan cinta sebagai alasan untuk memperlakukan pasangan dengan tidak manusiawi, pun membiarkan hal tersebut terjadi. Moms berhak mendapatkan cinta yang sehat, di mana hak dipenuhi dan kewajiban dicukupi.

Moms dan perempuan lainnya tidak sendiri. Segera keluar dari hubungan tersebut dan jangan sungkan untuk meminta bantuan pada kerabat, atau hubungi:

  1. Hotline LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan): 081388822669 (WA only) atau PengaduanLBHAPIK@gmail.com
  2. Hotline P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak): 081317617622
  3. Yayasan Pulih: 08118436633
  4. KPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak): 0211500771
  5. Kepolisian: 112