Mulai Senin, 30 Agustus 2021 ini beberapa sekolah  dari jenjang SD, SMP  hingga SMA/SMK di DKI Jakarta dan beberapa daerah lainnya, sudah mulai membuka sekolah tatap muka. Pandemi COVID-19 yang sekarang memasuki tahun kedua. Kondisi ini telah memaksa si kecil tidak bisa belajar dan bermain bersama teman-temannya di sekolah. Si Kecil umumnya antusias dengan dibukanya kembali kesempatan ia bersekolah. Tapi, para Moms mungkin sangat khawatir. 

Pro kontra memang masih banyak membayangi keputusan dimulainya ujicoba sekolah tatap muka untuk anak-anak. Namun, ada baiknya Moms menyimak penjelasan UNICEF (United Nations Children's Fund), sebuah badan dari PBB yang menangani masalah anak dan pendanaannya, tentang pentingnya sekolah tatap muka bagi si Kecil .

Penutupan sekolah merugikan anak

Apakah dengan di rumah terus-menerus si Kecil lebih merasa berbahagia? Penelitian menunjukkan telah terjadi peningkatan kecemasan, depresi, dan melukai diri sendiri di antara anak-anak usia sekolah sejak awal pandemi.

Anak-anak yang tidak berada di dalam kelas juga mengalami peningkatan kesepian, kesulitan berkonsentrasi, dan tingkat kecemasan belajar yang tinggi. Masalah tersebut hanya akan bertambah buruk dengan semakin lama sekolah ditutup.

Bukan hanya si Kecil mengalami dampak dan kerugian secara mental. Penutupan sekolah yang berkepanjangan memiliki dampak yang signifikan juga pada pencapaian keterampilan, prospek penghasilan si Kecil di masa depan , dan kesehatan fisiknya. Antara lain: 

Prioritas mendesak

UNICEF dalam laman resmi menyebutkan kehadiran di sekolah sangat penting untuk pendidikan anak-anak dan prospek dirinya untuk seumur hidup. Sehingga membuka kembali sekolah dengan aman perlu menjadi prioritas mendesak. 

Mungkin Moms bertanya-tanya, kok, yang lebih banyak dibuka untuk si Kecil yang berusia sekolah SD? Bukankah anak-anak ini sebagian besar belum bisa mendapat vaksin COVID-19 untuk perlindungan dirinya, karena usia kebanyakan di bawah 12 tahun?

Moms, ternyata data dan penelitian  UNICEF menunjukkan bukti sejak awal pandemi, ternyata COVID-19 tidak menimbulkan risiko tinggi bagi anak-anak, dan sekolah bukanlah pendorong penularan di masyarakat. Dan sebuah penelitian terhadap anak-anak dari Republik Korea menunjukkan bahwa anak-anak yang terinfeksi lebih kecil kemungkinannya untuk menyebarkan virus.

Meski demikian, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memberi panduan yang bisa Moms jadikan pertimbangan. Beberapa di antaranya adalah: 

1. Anak dengan komorbid atau penyakit kronik sebaiknya tetap belajar secara daring. 

2. Pemeriksaan swab secara berkala untuk quality control protokol kesehatan di sekolah. 

3. Jika ada anak atau guru atau petugas sekolah yang memenuhi kriteria suspek harus bersedia dilakukan pemeriksaan swab. 

4. Pengajaran penggunaan masker yang benar dan sediakan masker cadangan.

5. Jika menggunakan kendaraan antarjemput, gunakan masker dan jaga jarak serta menjaga ventilasi dengan membuka jendela mobil. 

6. Melatih anak untuk: 

    -Tidak memegang mata, hidung, dan mulut tanpa mencuci tangan terlebih dahulu.

    -Tidak bertukar alat minum atau peralatan pribadi lainnya.

    -Etika batuk dan bersin.

    -Mengenali tanda COVID-19 secara mandiri dan melaporkan jika ada orang serumah yang sakit. 

    -Tidak melakukan stigmatisasi terhadap teman yang terinfeksi COVID-19.

7. Memperhatikan kesehatan mental anak. 

Oh ya, Moms, sebagai orang tua, Moms mempunyai hak untuk tidak membolehkan anak belajar tatap muka dengan alasan keamanan anak. Bicarakan hal ini pada pihak sekolah ya, Moms. 

Baca Juga :Membantu Anak Bersosialisasi Saat Pandemi, Simak!