Kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual, merupakan pelanggaran hak asasi perempuan yang berakar dan melanggengkan ketidaksetaraan gender.

Dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional pada 25 November yang identik dengan warna oren, akan dilakukan 16 hari aktivisme hingga 10 Desember 2020, yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia Internasional.

Faktor penyebab kekeasan 

Setidaknya 1 dari 3 perempuan di dunia mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dalam hidup mereka, kebanyakan dari pasangannya. 

Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang termasuk kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan cidera atau penderitaan fisik, seksual, atau mental bagi perempuan. Termasuk juga ancaman untuk melakukan tindakan tersebut, seperti pemaksaan atau pencabutan sewenang-wenang kebebasan.

Dilansir dari WHO, ada banyak faktor yang menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada tingkat individu, keluarga, komunitas dan masyarakat yang lebih luas.  Misalnya mengalami penganiayaan saat anak-anak, menyaksikan kekerasan keluarga, mengalami gangguan kepribadian antisosial dan  sikap yang memaafkan kekerasan.  Norma-norma masyarakat yang mengistimewakan atau menganggap status laki-laki lebih tinggi, rendahnya akses pekerjaan untuk perempuan, juga menjadi penyebab kekerasan terhadap perempuan.

Baca Juga : Habis Bertengkar dengan Pasangan, Hindari Hal Ini!

Kekerasan berdampak pada kesehatan fisik, mental, seksual dan reproduksi pada perempuan, juga anak, misalnya bunuh diri, luka, keguguran, kelahiran mati, prematur, dan berat badan lahir rendah.  Pada mental juga berisiko menyebabkan depresi, PTSD, kecemasan, kesulitan tidur, gangguan makan, dan percobaan bunuh diri.

Pada anak yang tumbuh dalam keluarga di mana terjadi kekerasan kemungkinan besar mengalami gangguan perilaku dan emosional, melakukan atau mengalami kekerasan di kemudian hari. 

Baca Juga : Simak, Dampak Bertengkar di Depan Anak

Ubah perpektif

Kekerasan terhadap perempuan adalah kasus yang nyata dan berada dekat dengan kita, Moms. Sebagai manusia dan perempuan, Moms dapat mulai untuk menggunakan perspektif yang tidak menghakimi korban dan melakukan beberapa hal yang tampak sederhana namun berdampak:

Mendengarkan dan memercayai penyintas

Ketika seorang perempuan menceritakan dirinya menjadi korban kekerasan, ini merupakan langkah pertama untuk memutus lingkaran setan pelecehan, Moms. Sebaiknya, berikan ruang aman yang dibutuhkan korban untuk bicara dan didengarkan. Penting juga untuk diingat bahwa ketika membahas kasus kekerasan seksual, kesadaran korban, pakaian, dan seksualitas tidaklah relevan. Orang yang bersalah dan bertanggung jawab adalah pelaku, bukan korban. Tiap orang memiliki peran untuk memastikan penyintas mendapat keadilan.

Mengajarkan anak sebagai generasi berikutnya

Contoh yang Moms berikan untuk anak-anak membentuk cara mereka berpikir tentang gender, rasa hormat, dan hak asasi manusia. Mulailah percakapan tentang gender, anggapan tradisional terhadap laki-laki dan perempuan.  Tunjukkan stereotip yang selalu dihadapi anak, baik di media, di jalan, atau di sekolah. Bicarakan juga tentang consent atau persetujuan, otonomi tubuh dan tanggung jawab. Dengarkan juga apa yang dialami anak. Melalui generasi muda yang berdaya dengan informasi dan didikan tentang hak perempuan dan manusia, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik.

Mengetahui tanda-tanda adanya pelecehan dan kekerasan

Ada banyak bentuk kekerasan dan semuanya berdampak pada fisik dan emosional. Kenali tanda-tandanya dan segera cari bantuan, Moms. Beberapa tanda, misalnya menakut-nakuti, mengendalikan, hingga mengisolasi, mengontrol, mengancam, memata-matai kegiatan digital, dan melarang pasangan bersosialisasi. Begitu pula jika terjadi pada kerabat.

Baca Juga : Kenali Hubungan Abusive dalam Rumah Tangga