Menurut psikolog anak, Toge Aprilianto, ada dua peran pengasuhan yang bisa dipilih oleh orang tua. Peran pertama yakni sebagai fasilitas pelindung anak, dan peran kedua sebagai fasilitas belajar anak. Maksudnya? Saat memilih sebagai fasilitas pelindung anak, artinya kita sebagai orangtua berkomitmen untuk selalu melindungi dan memberikan kenyamanan untuk anak. Sementara, sebagai fasilitas belajar anak, orangtua berperan sebagai teladan, atau teman, atau konsultan. Yang paling baik yang mana? Sebenarnya tidak ada yang namanya pilihan yang terbaik, adanya hanya pilihan dengan risiko yang sanggup kita hadapi. 

Jika kita memilih untuk menjadi orangtua yang terus-menerus menjadi fasilitas pelindung anak, maka kita berisiko membangun mental anak yang tidak berdaya jika sendirian. Padahal, kita tidak bisa hadir 24 jam 7 hari seminggu selama-lamanya untuk anak. Nah, terus bagaimana? Di sinilah perlunya orang tua berperan sebagai fasilitas belajar anak, membimbingnya agar mempunyai mental pejuang dan mampu menghadapi kesulitan-kesulitan yang akan ditemui dalam hidupnya. Dalam bukunya, “Saatnya Melatih Anakku Berpikir”, Toge Aprilianto mengemukakan suatu rute pola asuh didik yang bertujuan untuk membantu anak mencapai kemandirian dan kedewasaan. 

Salah satu milestone keterampilan hidup yang harus dicapai anak dalam rute asuh ini adalah keterampilan untuk mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Untuk memiliki keterampilan ini ada kemampuan-kemampuan yang harus dicapai anak terlebih dahulu, seperti kemampuan memilih, ‘berdagang’, dan mengenali pola sebab-akibat. Menurut beliau, ketika anak melibatkan orangtua dalam situasi sulit yang dihadapinya, ada 3 kemungkinan motivasinya: ingin menjadikan orang tua sebagai bemper; teman curhat; atau konsultannya. 

Nah, jika Moms memilih memosisikan diri sebagai fasilitas belajar anak, ketika anak datang meminta bantuan untuk menyelesaikan masalahnya (yang sebenarnya sanggup diatasinya sendiri), Moms harus menganggap anak sedang menjadikan ibunya sebagai bemper. Sehingga untuk menolaknya, Moms bisa berikan ‘harga’ yang ‘mahal’ (sesuatu yang anak tidak mau atau tidak bisa lakukan) sebagai ganti bantuan yang akan didapatkan anak. 

Jika Moms konsisten melakukan ini, maka anak akan belajar bahwa menjadikan orangtuanya bemper itu tidak enak. Harapannya, anak akan memilih untuk melibatkan orang tua sebagai pendengar saja atau sebagai konsultannya. Ketika anak melibatkan Moms sebagai konsultannya, Moms bisa membantu memberikan alternatif-alternatif solusi yang bisa dicoba anak dan mendampinginya menghadapi risiko dari pilihannya. Ketika anak sudah ahli melakukan ini, alih-alih memberikan daftar solusi, Moms bisa ajak dia untuk berpikir bersama, kira-kira apa yang bisa dilakukan untuk memecahkan masalahnya. Harapannya, dengan bertahap melakukan ini, anak akan tumbuh menjadi manusia yang sanggup menghadapi kesulitan hidup dan bertanggung jawab atas solusi-solusi yang dia pilih. 

Bagaimana, Moms? Sanggup mencobanya?

Sumber: Buku “Saatnya Melatih Anakku Berpikir” karya Toge Aprilianto Instagram Toge Aprilianto (@latihati)