Berteriak dan meratap. Melempar mainan. Menghentak lantai, menendang furnitur, atau bahkan malah menendang  orang yang berada di dekatnya, seperti Moms atau pengasuhnya. Itu merupakan tanda-tanda temper tantrum, Moms. 

Temper tantrum ini seringkali menjadi ekspresi frustrasi dari balita akibat keterbatasan dan ketidakmampuan dirinya dalam mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya.

Harusnya, setelah usia 5 tahun, si Kecil sudah mulai dapat mengontrol ledakan emosi ini. Namun, hingga masuk usia sekolah, ia tetap sering mengamuk. Apakah ini menjadi tanda si Kecil menderita ADHD (Attention Deficit Hiperactivity Disorder atau Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktivitas)?

Tantrum yang melampaui batas

Pada usia balita dan prasekolah merupakan hal lumrah jika si Kecil melakukan aksi tantrum, entah dia mengalami ADHD atau tidak.  Moms dapat mulai mencurigai tantrum si Kecil ‘bukan hal yang biasa’, jika:  

  • Tetap sering terjadi setelah melewati usia 5 tahun
  • Terjadi 5 kali atau lebih dalam sehari, dan terus menerus terjadi nyaris setiap hari
  • Amukan si Kecil berlangsung selama lebih dari 15 menit
  • Aksinya melibatkan penghancuran barang-barang pribadi atau perilaku yang sangat agresif terhadap diri sendiri atau orang lain
  • Aksinya itu melibatkan kemarahan ekstrem atau pembangkangan terhadap pengasuh dan orang dewasa lainnya.

Tantrum = anak ADHD?

Untuk menjawabnya, Moms perlu mengenal dulu pemicu aksi tantrum pada anak-anak. Si Kecil biasanya mengeluarkan letupan kemarahan ini bila:

  • Mengalami ketidaknyamanan fisik. Anak akan mudah meletupkan emosinya jika ia merasa lapar, lelah, atau sakit, Moms.
  • Merasakan emosi luar biasa, seperti kemarahan, frustrasi atau ketakutan.
  • Mendapatkan stimulasi sensorik berlebihan.
  • Ketidakmampuan untuk meminta atau mendapatkan apa yang mereka inginkan
  • Keinginan untuk diperhatikan
  • Aksi ‘mengamuk’ sebelumnya sukses. Jika berhasil sekali menarik perhatian orangtua untuk aksi tantrumnya, anak mungkin akan mencobanya lagi.

Sementara gejala ADHD biasanya mencakup 3 simpton ini: 

1. Kurang perhatian

terganggu, memiliki konsentrasi dan keterampilan organisasi yang buruk

2. Impulsif

menyela, mengambil risiko

3. Hiperaktif 

sepertinya selalu bergerak, berbicara dan gelisah, kesulitan untuk tetap mengerjakan tugas.

Dengan gejala tersebut, kebanyakan para ahli tidak menganggap tantrum sebagai bagian dari ADHD.

Meski demikian, bisa dimengerti bila para orangtua menganggap ADHD sebagai bagian gejala ADHD. Penyebabnya karena gejala utama ADHD itu dapat dengan mudah berinteraksi dengan pemicu tantrum anak, sehingga menambah gejolak emosi si Kecil dan memicu ledakan. Itulah salah satu alasan mengapa pola sering mengamuk dan meledak-ledak sering dikaitkan dengan ADHD.

Sebagai contoh: 

Anak-anak dengan ADHD cenderung memiliki kesulitan untuk mengendalikan impuls dan mengendalikan perilaku mereka. Reaksinya gejala impulsif anak ADHD ini seperti: 

- Melakukan atau mengatakan sesuatu tanpa berpikir cepat.

- Kemarahan dan kejengkelan secara lahiriah ketika segala sesuatunya tidak berjalan sesuai keinginan mereka.

- Menjadi lebih marah dan frustrasi ketika orang dewasa menghukum atau salah memahami perilaku mereka

Nah, si Kecil pun bisa mengalami gejala ini, meski ia tidak ADHD. Misalnya, saat mereka ingin berlarian mengejar anjing di rumah atau lebih lama bermain tablet, Moms tidak membolehkannya. Saat Moms mencoba mengingatkan, si Kecil mungkin berdebat atau mulai mengamuk. Terutama, jika Moms memberikan konsekuensi karena tidak mendengarkan, seperti mengambil tablet dari anak.

Baca Juga :Penyebab Anak Tantrum dan Cara Menghadapinya