Bayi yang baru berusia beberapa bulan, mungkin, tidak mengerti kata-kata keras yang Moms dan Dads yang umbar saat bertengkar. Tapi jangan Moms kira pertengkaran ini tidak berdampak baginya. 

Menurut LeNaya Smith Crawford, terapis keluarga, terapis bermain, dan pemilik Kaleidoscope Family Therapy, seorang bayi bisa merasakan ‘suhu panas’ orang tuanya saat bertengkar. “Bayi dapat merasakan hal-hal yang bahkan mungkin tidak orangtua sadari. Ada beberapa penelitian yang menunjukkan bayi dapat merasakan ketika ibunya merasa stres.”

Faktanya, kemampuan bayi untuk merasakan stres dari ibunya ini telah dimulai sejak ia berada di dalam kandungan. Sebuah studi 2011 menunjukkan bahwa kortisol ibu, atau hormon stres, mampu ‘menyeberang’ ke plasenta dan menciptakan tingkat stres yang lebih tinggi untuk bayi yang belum lahir. 

Bayi yang sering terpapar stres semasa kehamilan ternyata lahir dengan kadar kortisol yang lebih tinggi dibandingkan bayi yang lahir dari ibu yang jarang mengalami stres. “Ini karena sistem saraf telah berkembang sejak sebelum bayi lahir dan dipengaruhi oleh adanya stress,” kata Chad Radniecki, psikolog anak di Allina Health, menjelaskan.

Sebuah penelitian lain pada 2010  mengungkapkan, pada usia 6 bulan, bayi juga akan menunjukkan reaksi stres terhadap ekspresi wajah cemberut atau marah. Dan bayi yang terpapar konflik ini dapat mengalami peningkatan detak jantung, yang juga memicu respons hormon stres. 

"Kata-kata bukanlah pemicu stres bayi," kata Jennifer Tomko, psikoterapis dan pemilik Clarity Health Solutions, "Tetapi kata yang memiliki nada dan volume keras, serta  respons wajah dari orang tuanya itu yang lebih berdampak pada respons stres bayi," katanya menjelaskan lebih lanjut.

Secara naluriah, bayi yang dilahirkan mencari rasa aman dan membangun kepercayaan dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Merka ingin rasa ini terpenuhi. “Berteriak atau agresif dirasakan oleh bayi sebagai tidak aman, yang melepaskan hormon stres, membuat mereka merasa tidak nyaman secara umum,” tutur Tomko. 

Apa efek jangka panjang pertengkaran di hadapan bayi?

Menurut Tomko, itu tergantung pada beberapa hal, yaitu:

“Jika mereka melihat orang tuanya menangis dan kesal, bayi cenderung ikut mulai menangis,” katanya. “Namun, jika bayi segera diberikan buaian dengan nyanyian,  digendong dan dipeluk, dan diajak bermain oleh orang tuanya, maka rasa aman itu kemungkinan akan diperoleh kembali dalam beberapa menit,” lanjutnya.

Tetapi jika perasaan aman itu tidak segera dikembalikan, maka dampaknya akan tidak baik bagi si Kecil. Tomko mengingatkan, jika perasaan merasa tidak terlindungi ini berlangsung  terus-menerus atau berulang kali, maka respons stres akan berefek lebih besar bagi bayi. 

Seiring waktu, peningkatan stres pada bayi ini dapat menyebabkan ia mudah cemas saat terpisah, mudah gelisah, dan bermasalah dengan tidur. 

Berdampak hingga dewasa

Efek yang lebih nyata  lainnya akan timbul bila konflik  orangtuanya ini terus berkelanjutan di hadapannya. “Begitu balita mengembangkan keterampilan bahasa, ia akan meniru bahasa dan gaya komunikasi orang dewasa di sekitar dirinya. Kemampuan ini mencakup pemilihan kata, nada, dan volume. Balita akan mendemostrasikan meniru (kemarahan)  orangtuanya bertengkar saat ia marah kepada orang lain,” ujar Tomko.

Selain itu, Crawford menambahkan, balita Moms juga mungkin akan sering membuat ulah, kesulitan berteman. Si Kecil ini pun kesulitan dalam mengekspresikan perasaan atau ide yang kompleks dengan cara yang tenang.

Di kemudian hari, anak Moms memiliki kesulitan dalam mempertahankan konsentrasi, cenderung memiliki kecemasan, atau bermasalah dalam perilaku.

Sebagai contoh, satu studi tahun 2012 terhadap taman kanak-kanak menemukan bahwa anak-anak yang orang tuanya bertengkar atau sering bertengkar lebih mungkin mengalami depresi, kecemasan, dan masalah perilaku pada saat mereka duduk di kelas tujuh.

Studi lain, dari tahun 2015, menemukan bahwa terlalu banyak perselisihan orangtua juga berbahaya bagi perkembangan otak anak. Perselisihan yang kerap terjadi  itu membuat anak memproses emosinya dengan cara berbeda. Hal ini menyebabkan anak akan menghadapi lebih banyak tantangan sosial di kemudian hari.

“Suka atau tidak, kita sebagai orang tua adalah panutan 100 persen dari anaknya, baik dalam  kondisi terbaik atau terburuk,” kata Radniecki. 

Dan, akibatnya, anak-anak akan meniru pola hubungan kita di kemudian hari. Di masa remaja ia akan mencontoh dari yang ia lihat dari orang tuanya dalam  berhubungan dengan teman. Menurut Crawford, si Kecil Moms kelak menunjukkan bahwa ia telah belajar bahwa cara Moms dan Dads berkomunikasi atau menyelesaikan suatu masalah yaitu  dengan “berdebat”.

Di masa dewasa, pertengakaran orang tua yang seringkali terbuka di hadapan anak akan memengaruhi pemikiran dan kemampuan anak juga dalam membina hubungan yang romantis.  Jadi, stop ya Moms bertengkar dengan Dads di hadapan si Kecil, meski ia baru berusia seumur jagung.