Setelah berbulan-bulan terbiasa berada di rumah bersama Moms selama hampir 24 jam, mulai dari bangun tidur, bermain, makan, sampai tidur lagi, si Kecil mungkin akan membutuhkan waktu transisi untuk kembali ke daycare atau sekolah,  ketika pandemi ini telah teratasi. Terutama bagi anak yang kesulitan berpisah dengan Moms saat mengantarkannya ke sekolah, atau disebut separation anxiety

Separation anxiety adalah gangguan kecemasan akan perpisahan. Kondisi ini membuat si Kecil merasa cemas saat berpisah dengan seseorang yang memiliki ikatan emosional  kuat, contohnya Moms. Separation anxiety dapat terjadi ketika anak enggan pergi ke sekolah. Kecemasan ini umumnya berbentuk tangisan, bisa juga penolakan untuk pergi sekolah, atau keengganannya berinteraksi dengan teman-teman. 

Pandemi membuat anak-anak mau tak mau terkarantina di rumah dalam waktu yang lama. Hal ini justru menambah kegelisahannya terhadap perpisahan nantinya. Tingkat perhatian dan waktu yang Moms berikan selama pandemi membuat si Kecil merasa nyaman, dan berharap inilah yang terjadi sepanjang waktu.

Berdasarkan data Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 7,1 persen anak di usia 3 – 17 tahun di Amerika—jumlahnya sekitar 4,4 juta anak—didiagnosis kecemasan perpisahan. Ketika anak kembali ke sekolah, ia akan meninggalkan kebiasaan dan keberadaan Moms yang akhir-akhir ini dinikmatinya. 

Penting untuk membicarakannya dengan si Kecil, memahami dan memvalidasi perasaannya. Perubahan rutinitas dapat menyebabkan kecemasan bagi siapa pun, sama halnya di awal kebijakan #StayatHome. Dr. Berry, psikolog di Pusat Penelitian Anak Rumah Sakit Anak Hassenfeld, menekankan bahwa perlunya keseimbangan antara ketegasan dan pemahaman Moms,  mengingat si Kecil akan terus terekspos dengan situasi yang menantang di masa depan.

Tidak hanya si Kecil, Moms pun dapat merasakan kecemasan akibat perpisahan ini. Terutama meninggalkannya saat ia merasa takut dengan lingkungan baru. Untuk mengatasinya, sobalah langkah-langkah berikut: 

Tidak sedikit Moms yang menarik anaknya dari kelas ketika si Kecil menunjukkan reaksi kecemasan, terutama tangisan. Alih-alih membuatnya tenang, yang Moms lakukan justru bisa berakibat buruk terhadap perkembangan si Kecil. Tanda disadari, Moms melewatkan kesempatan anak untuk belajar menghadapi perasaan negatif dan tidak mengajarkan anak untuk menghadapi masalah. Maka, konsistensi adalah kunci untuk membuat sekolah sebagai bagian dari rutinitas Si Kecil. 

Guru adalah pengganti Moms di sekolah. Moms dapat melibatkan guru agar si Kecil merasa aman dengan sosok baru ini. Jelaskan pada guru mengenai kondisi si Kecil, kebiasaannya, aktivitas dan benda kesukannya, hingga cara menanganinya ketika ia cemas.

Cara ini dapat Moms coba, yaitu membekali si Kecil dengan benda favoritnya dari rumah untuk membuat perasaannya lebih tenang. “Comfort objects” ini dapat memberikan rasa aman bagi anak di lingkungan yang baru baginya.

Membiasakan anak berani itu penting, namun tidak dengan tiba-tiba menghilang. Hal ini akan membuatnya tidak siap dan berefek lebih parah. Dr. Walfish, psikoterapis keluarga, menganjurkan Moms untuk membuat ritual perpisahan singkat, seperti pelukan. 

Menghargai proses anak adalah cara terbaik untuk membuat transisi ke rutinitas sekolah berjalan mulus. Pahami bahwa tiap anak memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi perasaan negatif. Maka, hindari membandingkan si Kecil dengan anak lain yang “lebih dulu” sukses berpisah dengan orang tuanya.