Moms pernah mendengar istilah mom shaming? Ini adalah perilaku merendahkan atau menghakimi terkait cara seorang Moms mengasuh anaknya. Mom shaming biasanya dilakukan oleh seorang Moms (meski terkadang dilakukan juga oleh pria) kepada Moms lainnya, terutama pada Moms yang baru pertama kali punya momongan

Bukan cuma di dunia nyata, mom shaming juga bisa terjadi dalam bentuk perundungan alias bullying di media sosial, grup Whatsapp, dan sebagainya. Moms pasti pernah lihat akun seorang Moms yang memberikan susu formula kepada anaknya lalu dihujat ramai-ramai oleh banyak ibu lain yang pro ASI “garis keras”. 

Ada juga Moms lain yang dicemooh oleh sesama orang tua murid karena memberikan anaknya dot alias empeng agar tidak rewel. Tak sedikit pula wanita karier yang jadi bulan-bulanan keluarga besar karena tidak memilih untuk menjadi ibu rumah tangga meskipun penghasilan suaminya cukup untuk membiayai keluarga. 

Selain contoh di atas, masih banyak lagi contoh tindakan mom shaming yang biasa terjadi di masyarakat. Sebenarnya apa sih yang menyebabkan banyak orang di sekitar kita melakukan mom shaming dan apa saja bahayanya bagi orang yang menjadi target hujatan?

Cermin rasa tidak percaya diri 

Menurut psikolog, yang mendasari seseorang melakukan tindakan mom shaming kemungkinan adalah rasa tidak percaya diri, cemburu, atau rasa kewalahan (overwhelmed) terhadap kehidupan yang dijalaninya sehari-hari. 

Dengan cara melontarkan “kritik pedas” kepada orang lain, si pelaku sebenarnya sedang berusaha memvalidasi kemampuannya sebagai orang tua. Penghakimannya terhadap tindakan Moms lain membuat pelaku seolah mendapat pengakuan bahwa dirinya adalah orang tua yang lebih baik. 

Sebuah survey yang dilakukan di Mott Children’s Hospital Michigan, Amerika Serikat, mengungkap bahwa tindakan mom shaming kerap dilakukan oleh orang-orang terdekat, misalnya orang tua (37%), pasangan (36%), dan mertua (31%). Mom shaming juga bisa dilakukan oleh teman sebaya (14%), orang tak dikenal (12%), serta melalui kolom komentar di media sosial (7%). 

Topik yang paling sering muncul adalah tentang cara mendisiplinkan anak (70%), asupan nutrisi untuk anak (46%), pemberian ASI VS susu formula (39%), keamanan dan keselamatan anak (20%), serta pola asuh anak (16%). 

Kritik yang dilontarkan biasanya didasari oleh perbedaan latar belakang budaya, pendidikan, dan gaya pengasuhan anak antara diri pelaku dan orang yang menjadi sasaran tindakan mom shaming.

Bisa tingkatkan risiko depresi

Karena biasanya dilakukan secara berulang kali dalam berbagai kesempatan, tindakan mom shaming bisa mendatangkan efek negatif pada diri orang yang menjadi target. 

Menurut hasil survey yang sama, 56% ibu merasa dirinya selalu disalahkan dan seolah tidak memiliki otoritas sebagai orang tua dan 42% ibu mengaku rasa percaya diri dan keyakinannya tentang penerapan pola asuh anak menjadi goyah.

Seorang Moms yang terus-menerus menjadi sasaran mom shaming akan menjadi serba salah, tidak percaya diri, stres, dan juga berisiko mengalami depresi. Risiko depresi bisa meningkat pada Moms yang baru melahirkan, karena kondisi fisiknya masih lemah dan fluktuasi hormon di dalam tubuh masih berlangsung. 

Bukan hanya mengancam kesehatan, depresi yang dialami oleh Moms yang menjadi target mom shaming juga bisa merugikan anak yang diasuhnya. Akibat teror mental yang dialaminya, Moms yang terserang depresi akan kesulitan memahami dan memberikan apa yang dibutuhkan oleh anaknya. 

Miliki support system yang kuat

Lantas bagaimana cara terbaik menghadapi tindakan mom shaming? Psikolog dan pakar parenting menyarankan para Moms untuk selektif menyortir komentar yang masuk, dari mana pun sumbernya.

Pilah mana jenis komentar berharga yang mengandung ilmu dan mana jenis komentar “julid” yang hanya berisi hinaan dan kritik tidak membangun. Abaikan komentar negatif yang tidak mendatangkan manfaat, meski datangnya dari orang terdekat.

Moms juga mesti membekali diri dengan pengetahuan yang benar seputar teknik pengasuhan anak. Ini adalah satu-satunya cara untuk mengusir rasa bimbang ketika mendapat “serangan” dari sana-sini.

Tak kalah penting, tingkatkan kekompakan dengan pasangan terkait pola asuh anak. Dengan begitu, Moms dan suami bisa saling memberi dukungan kapan pun dibutuhkan. Selain dengan pasangan, dapatkan pula dukungan dari support system lainnya seperti saudara dan sahabat. 

Terakhir, jangan gampang down bila suatu saat Moms melakukan kekeliruan. Akui kesalahan tersebut dan jadikan bahan untuk berkaca agar tidak melakukan kesalahan yang sama di masa depan. Di dunia ini tak ada yang namanya orang tua sempurna, bukan begitu Moms? 

^IK