Mengendalikan makan berlebihan cukup sulit dilakukan bagi beberapa orang. Mungkin, Moms salah seorang di antaranya. Apalagi di tengah masa pandemi COVID.   

“Mau bagaimana lagi? Sehari-hari hanya di rumah saja, bahkan kerja pun dari rumah. Sekolah anak-anak juga di rumah. Mau refreshing dengan jalan-jalan khawatir  bahaya tertular virus COVID. Mau wisata juga susah dan repot. Banyak pemeriksaan yang harus dijalani. Pelampiasannya, ya, makan ,” mungkin seperti ini alasan Moms. 

Moms tidak sendirian. Memang pandemi mendorong kebiasaan makan berlebihan menjadi tidak  terkendali. Dalam survei terbaru yang dilakukan oleh Google bekerjasama Glenn Livingston, psikolog, dan penulis Never Binge Again, melansir bahwa gara-gara masa pandemi COVID ini rata-rata orang Amerika menambah konsumsi hingga 4.200 kalori ekstra per minggu!

Wadoww…. harus diet ketat, demikian tekad Moms karena menyadari baju-baju koleksi sudah terasa sesak semua. Alih-alih mencoba diet ketat (yang terbukti seringkali gagal dan sering menyebabkan stres), cobalah Moms  secara “sadar” menghentikan kebiasaan makan berlebihan ini. Jangan beralasan menunggu pandemi COVID berakhir. 

"Banyak yang berencana baru menurunkan berat badan mereka ketika pandemi ini berakhir. Sayangnya, menggunakan makanan untuk menenangkan trauma selama pandemi menciptakan hubungan yang kuat antara emosi dan makan berlebihan yang dapat bertahan lama, bahkan hingga setelah COVID berakhir," kata Livingston dalam survei. "Diet yang terus ditunda hingga pandemi berakhir juga menimbulkan stres  individu yang makin kuat, sehingga menciptakan episode makan berlebihan yang lebih buruk (dan lebih sering)," lanjutnya.

Di bawah ini, Livingston menyarankan lima langkah yang bisa Moms ikuti untuk membantu menghentikan kebiasaan makan berlebihan dengan cara yang sehat:

Berikan batasan untuk makanan pemicu

Sewaktu putus dengan eks boyfriend dulu, Moms menetapkan batasan berhubungan dengannya, kan? Nah, mengapa Moms tidak mencoba menerapkan konsep yang sama untuk makanan favorit? Supaya Moms dengan makanan pemicu makan berlebihan ini benar-benar putus hubungan. 

"Ada perbedaan besar antara mengatakan: 'Saya akan mencoba menghindari makan terlalu banyak keripik kentang' vs. 'Saya hanya akan makan keripik kentang di akhir pekan, dan tidak pernah lebih dari satu kantong kecil per hari’," kata Livingston.  Ia menilai, kalimat tekad diet yang pertama itu tidak memiliki batasan objektif, dan karenanya rentan terhadap pengaruh emosi yang merajalela dalam pandemi. Kalimat yang pertama itu juga tidak memiliki batasan. Padahal, untuk diet yang berhasil itu perlu ada batasan yang jelas, misalnya tentang keripiki kentang favorit kapan dan seberapa banyak bisa dimakan. Gunanya, untuk ‘menundukkan keinginan’ mengunyah keripik kentang ini setiap kali muncul.

Penuhi dapur dengan banyak makanan sehat

Sekarang Moms bertekad hanya mengeluarkan satu kantong kecil keripik kentang untuk akhir pekan. Langkah berikutnya, pastikan untuk mengisi lemari dan rak-rak penyimpanan makanan di dapur, lemari es, dan freezer Anda dengan banyak pilihan makanan yang sehat. Tujuannya, menurut Livingston, untuk membantu memerangi perasaan kelangkaan makanan.  Entah Moms menyadari atau tidak disadari, saat kulkas terlihat kosong, padahal memang sengaja dikosongkan untuk menyingkirkan segala rupa cake atau minumam bersoda, maka  otak Moms akan mengirimkan sinyal darurat alias: "Saya akan kelaparan". 

Sinyal tersebut akan mengaburkan penilaian Moms. Pada akhirnya dapat menyebabkan kegagalan pola makan sehat, dan Moms beralih kembali ke pola makan yang tidak sehat. Alih-alih mempertaruhkan otak untuk mempermainkan, pastikan Moms tetap berbelanja, mengisi dapur dan kulkas. Namun, kali ini isilah dengan pilihan camilan atau makanan yang sehat.

Identifikasi penyebab makan berlebihan

Menyadari bahwa alasan Moms terlalu banyak makan adalah karena kebiasaan yang terbentuk akibat perasaan kesepian, stres, dan kesedihan selama sebagian besar tahun 2020 dan awal tahun 2021, sangat penting untuk menghentikan kebiasaan makan itu. Sadarilah Moms kebiasaan makanan berlebihan itu  cenderung mengintensifkan perasaan daripada menyelesaikannya.

"Makan berlebihan tidak hanya membuat gula darah tidak stabil, menguras energi, dan menyebabkan segala macam masalah fisik. Kebiasaan makan berlebihan ini juga menghancurkan semangat. Keinginan mengidam makanan juga menjadi lebih kuat, dan semakin sulit untuk melawannya," kata Livingston. Akhirnya, Livingston melihat, pelaku makan berlebihan ini akan merasa putus asa dan menjadi benar-benar kecanduan. Oleh karena itu, penting untuk mengubah perilaku sesegera mungkin, dan tidak menunggu pernyataan bahwa pandemi secara resmi berakhir.

Konsumsi makanan dan camilan sesuai desain

Untuk memutuskan hubungan dengan emosi yang memicu kebiasaan makan berlebihan, Livingston menyarankan untuk beralih dari struktur "makan sesuai keinginan" ke struktur "makan dan camilan sesuai desain". 

Lho, desain apa?  Sederhana saja. Desain makan di sini maksudnya Moms menetapkan  pukul berapa jam makan dimulai dan berakhir, berapa banyak waktu yang Moms dapatkan di antara waktu makan, atau bahkan mungkin berapa banyak kalori yang didapat setiap kali makan. Buatlah sedikit kelonggaran, tapi jangan melenceng jauh dari ‘desain’ yang telah Moms tetapkan

Pastikan bersosialisasi setiap hari

Moms bisa bertemu teman yang tinggal di sekitar rumah untuk sekadar jalan pagi bareng atau ngobrol ringan sebentar  (tentunya dengan memakai protokol kesehatan untuk COVID). Untuk berhubungan dengan teman atau anggota keluarga yang berjauhan, Moms bisa  berkomunikasi secara virtual. Penting bagi Moms untuk tetap menjaga interaksi sosial secara kontinyu. Interaksi ini tidak hanya akan membantu mengalihkan pikiran Moms dari makanan, tetapi dari penelitian telah menunjukkan bahwa pertemuan sosial secara teratur membuat kita lebih bahagia. 

Livingston juga menekankan pentingnya menjaga kamera desktop atau ponsel  untuk berinteraksi dengan teman, keluarga, atau bahkan kolega secara virtual. Orang yang tidak melakukan komunikasi virtual selama pandemi, seperti lewat  Zoom dengan video, ternyata mengalami lebih banyak masalah dengan makanan. Hal ini  karena mereka tidak perlu mempermasalahkan ‘beban ekstra’ disebabkan  tidak ada orang yang melihat dirinya.