Beberapa hari terakhir ini, media sosial diramaikan oleh obrolan dan meme seputar film pendek berjudul Tilik, garapan sutradara Wahyu Agung Prasetyo dan produksi Racavana Films ini mengangkat isu sosial yang dekat dengan kehidupan sehari-hari selama kurang lebih 30 menit.

Dalam bahasa Jawa, Tilik berarti "menjenguk". Begitu pula alur cerita yang menggambarkan perjalanan sekelompok ibu-ibu yang diangkut oleh truk milik Gotrek, sesama warga desa, untuk menjenguk Bu Lurah yang dirawat di rumah sakit. 

Obrolan dan gosip-lah yang menjadi menu utama film ini. Bu Tejo, satu tokoh yang menjadi perhatian para penonton tampak paling getol membicarakan Dian, seorang perempuan lajang di desa, dengan segala bumbu dan informasi yang ia himpun dari media sosial dan kabar burung. Selama itu, sosok Dian dilabeli secara implisit dengan “penggoda suami orang,” “simpanan om-om,” hingga “pemakai susuk.”

Perilaku seperti ini tentu tidak asing di lingkungan sosial, tak hanya pada ibu-ibu, namun secara umum merupakan sifat dasar manusia. Bahkan, bergosip sudah melekat sejak manusia purba mampu bersosialisasi. Hal ini disampaikan dalam buku Sapiens: A Brief History of Human Kind oleh sejarawan Yuval Noah Harari. Menurutnya, melalui gosip, manusia dapat mengetahui siapa yang dapat dipercaya dan siapa yang dihindari untuk mengembangkan suku mereka. Manusia juga bergosip untuk membentuk persahabatan dan hierarki, inilah yang membedakan manusia dengan binatang.

Mesti diakui, Bu Tejo memiliki bakat provokasi yang di atas rata-rata, Moms, bahkan, Yu Ning yang tidak sependapat dengannya pun tampak tak memiliki argumen untuk melawan Bu Tejo. Ia memiliki kelas sosial yang lebih tinggi dibanding ibu-ibu lainnya, terlihat dari perhiasan yang dipakainya, pencalonan suaminya di bursa pemilihan pemimpin lurah, dan yang tak kalah penting, akses informasi yang lebih dibanding ibu-ibu lainnya.

Film ini mampu memunculkan pro dan kontra, serta diskusi dari berbagai perspektif, mulai dari relevansinya dengan realitas sosial masyarakat, hingga anggapan tidak adanya nilai moral yang dapat diambil dari film.

Kebenaran itu tidak hitam putih

Film yang telah ditonton 10 juta orang di Youtube ini diakhiri dengan twist yang tak terduga, prasangka ibu-ibu tidak membuktikan apa-apa, bahwa Dian tidak menjalin hubungan dengan Fikri, anak Bu Lurah, tetapi mantan suami Bu Lurah. Persepsi ibu-ibu tersebut muncul akibat sikap Dian yang berusaha mengambil hati Fikri agar merestuinya menjadi ibu tiri. Realitas itu memang kompleks, abu-abu, dan tidak hitam putih, Moms. Perangai ibu-ibu yang dimotori Bu Tejo mungkin salah, namun tak membuat Yu Ning juga benar, buktinya ia masih mengungkit kesalahan ketika Bu Tejo sudah diam, keberpihakannya pada Dian juga bias karena Dian adalah kerabatnya, Yu Ning jugalah yang menyesatkan ibu-ibu lain dengan disinformasi mengenai Bu Lurah yang tidak bisa dijenguk karena dirawat di ICU dan membuat perjalanan sia-sia, walau disebabkan oleh hal teknis, yaitu ketiadaan sinyal.

Tidak semua yang pintar itu benar

Kemudahan akses informasi kini rentan menjadi disinformasi di antara kalangan masyarakat. Hal ini digambarkan jelas bagaimana gagapnya ibu-ibu tersebut mengolah informasi dari internet dan media sosial, misalnya tertipu obat herbal yang diiklankan di internet. Tak sedikit masyarakat yang dibuat silau oleh paparan kecanggihan teknologi informasi sehingga memercayai semua informasi di internet. Ini merupakan sedikit gambaran dari fenomena masyarakat di tengah kepungan informasi dan hoaks. Bu Tejo pun memperkuat hal ini dengan anggapannya bahwa orang yang “membuat” internet itu pastilah benar karena ia adalah orang yang pintar. Tentu ini adalah kekeliruan ya, Moms, mengolah informasi yang bijak membutuhkan filter dan verifikasi.

Perempuan dapat bertindak dan berlaku menjadi apa pun

Tidak sulit untuk melihat penggambaran ibu-ibu dan perempuan dalam film ini, mengingat hampir seluruh tokohnya adalah perempuan. Namun, pembuat film lantas tidak jatuh pada stigmatisasi dan pengotakan karakter perempuan yang dangkal dan manut, atau hanya pelengkap karakter laki-laki sebagaimana yang sering muncul di banyak film. Perempuan dapat mengatur jalan ceritanya sendiri, terlihat dari Bu Tejo yang “solutif” bernego dengan polisi saat melanggar aturan, berusaha mengambil hati ibu-ibu agar mendukung jalan suaminya menjadi Pak Lurah, hingga Dian yang tak ragu memilih untuk berkarir, hingga mengusahakan untuk mengambil hati Fikri agar ia dapat menikahi ayahnya. Begitu pula ibu-ibu lain yang memilih untuk mengamini Bu Tejo, mendebatnya, atau diam saja.