Momen bersejarah tercipta pada Selasa, 12 April 2022. DPR akhirnya menyetujui pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi undang-undang (UU TPKS). Pengesahan RUU TPKS yang sebelumnya diberikan nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) ini melalui jalan berliku, Moms. 

Pembahasan RUU ini berjalan hingga 6 tahun lamanya. Pembahasannya berjalan alot, bahkan sempat mengalami penolakan. 

Mengapa UU TPKS ini penting untuk disahkan? Berikut beberapa poin yang perlu Moms ketahui.

Kasus kekerasan seksual makin meningkat

Korbannya terutama adalah para perempuan dan anak-anak. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) sepanjang 2021 hingga 17 Maret 2022 menunjukkan: dari 8.478 kasus kekerasan terhadap perempuan, 1.272 kasus di antaranya ialah kekerasan seksual. Dari 11.952 kasus kekerasan terhadap anak, 7.004 kasus (58,6 persen) di antaranya merupakan kekerasan seksual.

Sementara hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2021 yang dilakukan Kementerian PPPA, Badan Pusat Statistik dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia menemukan, 1 dari 19 perempuan (usia 15-64 tahun) pernah mengalami kekerasan seksual, selain pasangan.

Adapun Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja 2021 juga menemukan 4 dari 100 laki-laki dan 8 dari 100 perempuan usia 13-17 tahun di perkotaan pernah mengalami kekerasan seksual dalam bentuk apa pun di sepanjang hidupnya. Dan,  3 dari 100 laki-laki dan 8 dari 100 perempuan usia 13-17 tahun di pedesaan pernah mengalami kekerasan seksual dalam bentuk apa pun sepanjang hidupnya.

Kasus-kasus kekerasan seksual terus meningkat. Padahal, data yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia pun sebenarnya menjadi fenomena gunung es. Artinya Moms, kekerasan seksual yang terdata, hanya puncak kecil yang terlihat. Realitanya diyakini jauh lebih besar. Seram ya….

Banyak korban kekerasan seksual adalah anak perempuan

Moms mungkin mengikuti berita tentang pelecehan seksual yang dilakukan oknum guru pesantren di Kota Bandung yang menghamili 12 santriwati, hingga 4 di antara santriwati itu melahirkan 8 bayi. Atau, baru-baru ini di minggu akhir Maret lalu mencuat kasus seorang di Semarang yang memperkosa anak kandungnya hingga anak ini akhirnya meninggal dunia. 

Anak, terutama anak perempuan menurut catatan Komnas Perempuan memang terus mengalami  peningkatan kasus kekerasan seksual. Pada tahun 2018, kasus kekerasan tipe ini berjumlah 1417 kasus. Namun tahun 2019, jumlahnya mencapai 2341 kasus atau mengalami kenaikan 65%

Sedihnya lagi, dengan bentuk kekerasan paling banyak adalah incest (770 kasus), dan diikuti dengan pelecehan seksual (571 kasus). Pengertian incest adalah kekerasan seksual di dalam rumah yaitu dengan pelaku yang memiliki hubungan darah.

Dominannya kasus inses dan pelecehan seksual terhadap anak perempuan, menunjukkan bahwa sejak usia anak, perempuan telah berada dalam situasi yang tidak aman, bahkan dari orang terdekat dalam kehidupannya.

Perluas perlindungan terhadap korban kekerasan untuk memberi rasa keadilan

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kekerasan seksual yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana hanya mencakup dua hal yaitu pemerkosaan dan pelecehan seksual atau pencabulan.

Sementara dalam UU TPKS, kekerasan seksual disebutkan rinci hingga 19 jenis. Baik dari UU TPKS sendiri, maupun mengacu dari UU lainnya. 

Mengapa penting perluasan definisi kekerasan seksual? Ini agar  mampu menjangkau para pelaku yang selama ini lolos dari hukuman hanya karena tindakan mereka tak memenuhi unsur legalitas sebagai tindak pidana.

Mungkin Moms masih ingat kisah Baiq Nuril. Pegawai honorer di SMAN 7 NTB tersebut dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) serta divonis hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta.

Ia dianggap bersalah melanggar Undang-undang Informasi Teknologi Elektronik (UU ITE) karena menyebarluaskan konten elektronik yang berisi tindakan asusila. Dokumen elektronik itu adalah rekaman percakapan telepon dari Kepala Sekolah SMAN 7 bernama Muslim, kepada Baiq Nuril yang dianggap berisi muatan pornografi. 

Padahal Baiq Nuril menyimpan rekaman percakapan itu karena ia telah mengalami pelecehan seksual dari kepala sekolah. Karena tidak dikenalinya kekerasan seksual yang melatarbelakangi kasus pelanggaran UU ITE membuat  perbuatan Nuril itu bukan dilihat korban yang berupaya membela diri atas kekerasan seksual secara verbal yang dialaminya.

Korban, keluarga dan saksi kekerasan seksual butuh perlindungan 

Permasalahan utama yang sering dialami oleh keluarga korban atau saksi kunci korban kekerasan seksual adalah mereka sering mendapatkan ancaman atau bahkan kekerasan untuk membungkam kesaksian mereka. Adanya UU TPKS Ini bukan hanya melindungi korban kekerasan langsung, tapi juga memberikan perlindungan bagi keluarga korban dan saksi yang ingin memberikan kesaksian mereka selama proses hukum.

Korban kekerasan seksual butuh rehabilitasi

Banyak korban kekerasan seksual seperti masuk ke dalam lubang hitam. Sebagai korban tak jarang mereka menjadi sasaran ejekan dan hinaan. Ini yang membuat para korban menjadi trauma yang membuatnya depresi bahkan bunuh diri. Dengan UU ini memberikan  hak korban untuk rehabilitasi, baik fisik dan psikologis. 

Rehabilitasi juga bisa ditetapkan untuk pelaku agar  mencegahnya tidak melakukan tindakan kekerasan seksual lagi.

^IK