Tak selamanya si Kecil berlaku manis dan menggemaskan. Ada kalanya si Kecil berlaku susah diatur, nakal dan sangat mengesalkan, yang membuat emosi Moms naik hingga ke ubun-ubun, dan siap meledak. 

Nah, sebelum emosi Moms benar-benar meledak, coba tarik nafas dulu. Mundur, dan coba amati penyebab di balik perilakunya yang mengesalkan. 

Sebagian besar anak-anak menggunakan perilakunya untuk menunjukkan perasaan dan pikirannya. Hal ini karena mereka seringkali belum mampu mengomunikasikan pikiran dan perasaan ini secara verbal, Moms. Jadi, cek latar penyebab masalahnya, sebelum menentukan strategi disiplin untuk si Kecil.

Cari perhatian

Ketika Moms tengah asyik berbicara di telepon, mengunjungi teman  atau keluarga dan mulai larut dalam obrolan, atau terlihat fokus dan sibuk bekerja, adalah contoh kondisi yang sering membuat si Kecil merasa ditinggalkan. Ia butuh perhatian. Akhirnya, si Kecil  akan merengek, mengamuk, atau berlaku nakal. Kelakuannya ini bisa jadi hanya untuk membuat Moms menengok ke arahnya, dan memperhatikannya. Meski perhatian yang didapat ini bersifat negatif (ia dimarahi atau kena omelan), anak-anak (anehnya) tetap menginginkannya. 

Sekadar meniru

Anak-anak belajar berperilaku dengan memperhatikan orang lain. Mereka bisa belajar dari sekelilingnya, entah  melihat kelakuan  teman sebaya yang berperilaku buruk, atau diam-diam otaknya merekam perilaku jahat dari tokoh antagonis dari adegan FTV atau sinetron favorit Moms.  

Jadi berhati-hatilah dengan paparan perilaku agresif di TV, di video game, dan bisa jadi di kehidupan nyata, seperti adu tengkar orangtua yang dipertontokan di depan anak. 

Menguji batas keseriusan

Ketika Moms telah menetapkan aturan dan memberi tahu si Kecil tentang  hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan, tak jarang si Kecil ‘tertarik’ untuk menguji keseriusan aturan.  “Benarkah aturan ini untuk kebaikan saya? Apa sih konsekuensi kalau saya langgar?” mungkin itu yang terlintas di kepala iseng si Kecil. 

Tetapkan batasan atau aturan yang jelas dan beri konsekuensi secara konsisten. Jangan buka peluang si Kecil dapat melanggar dan lolos dari konsekuensinya. Jika tidak, si Kecil yang iseng ini akan  sering tergoda untuk mencoba melanggarnya lagi. 

Kurang kemampuan bersosialisasi  atau keterampilan

Saat bermain di taman si Kecil, tidak mau  mengalah untuk main ayunan. Bahkan, bila ada anak lain yang sudah terlebih dulu naik ayunan, ia merebut atau mendorongnya. 

Situasi lain,  setelah bermain dengan mainanya, ia membiarkannya berserakan. Bukan hanya di rumah. Saat bermain di rumah temannya pun ia berlaku yang sama. Jika terus dibiarkan, si Kecil bisa dijauhi oleh temannya, Moms. 

Apa yang harus Moms lakukan? Jangan hanya marah atau memberikan hukuman ya, Moms.  Coba ajarkan apa yang harus dilakukan si Kecil. Tunjukkan cara berbagi atau berteman. 

Ingin bebas memilih

Seperti remaja yang suka berperilaku memberontak, balita Moms pun bisa jadi berperilaku  mengesalkan karena ingin diberikan kebebasan memilih. Misalnya menolak ketika waktunya minum susu. Ditanya sebabnya hanya mengatupkan mulut. Senangnya hanya mengatakan tidak. 

Dalam kondisi ini coba Moms berikan pilihan. “Adek… apakah ingin minum susu atau air putih saja?” coba Moms tanyakan. Si Kecil mungkin sedang memenuhi kebutuhannya untuk mandiri dan bebas memilih. 

Belum mengenal perasaaan sendiri

Anak-anak belum mampu mengelola perasaannya dengan baik. Bahkan banyak anak belum mengerti dan membedakan perasaan atau emosi yang mereka alami. Seperti, jengkel, cemas, bosan atau sedih. Yang dikeluarkannya bisa jadi hanya kemarahan atau berperilaku agresif.

Jadi, coba ajarkan anak ragam emosi. Tunjukkan pula cara yang sehat untuk mengungkapkannya, serta mengelola emosi  untuk mencegahnya berperilaku buruk

Kebutuhannya tidak terpenuhi

Sebagian besar balita tidak pandai mengomunikasikan apa yang mereka butuhkan. Ketika si Kecil merasa lapar dan ingin makan, atau lelah dan ingin tidur yang nyaman, adalah contoh yang menggiringnya berperilaku buruk. Anak rewel, nangis meraung atau membanting sesuatu.  

Jadi Moms kenali tanda lapar dan letih dari si Kecil. Misalnya, bila mengajak si Kecil ke mal, pastikan ia sudah makan dari rumah. Bawa camilan kesukaannya. Sehingga bila menjadi pengganjal rasa lapat. Tanyakan pula, apakah ia sudah merasa lapar atau capek. Jika iya, stop keasyikan Moms nge-mal. Ajak pulang si Kecil. Atau cari tempat nyaman untuk ia makan dan beristirahat.  

Sebagai cara menegaskan  kekuasaan

Ini sering terjadi saat misalnya Moms kedatangan teman atau saudara yang membawa anak.   Melihat anak teman Moms memegang mainannya, si Kecil bisa jadi merebutnya, Padahal mainan tersebut sudah lama tidak ia sentuh. Perilakunya yang kasar itu bisa jadi hanya cara anak untuk menegaskan: Ini punyaku. Ia punya kuasa atas maianan itu. 

Jangan langsung memarahinya, Moms. Dekati si Kecil. “Ini memang mainan kakak. Adek (anak teman) pinjam saja. Apakah kakak mau memainkan mainan ini dan adek pakai mainan yang kakak pegang?”. Memberikan pilihan akan mengurangi banyak argumen dan meningkatkan kemungkinan anak  mematuhi Moms.

Cara efektif menaklukkan orang tua

Salah satu alasan paling sederhana anak-anak berperilaku buruk adalah dengan perilaku buruk bisa efektif mendapatkan keinginannya.  Misalnya, seorang anak yang merengek minta mobil-mobilan di toko mainan. Orang tua menyerah memberikan karena malu dengan rengekan dan tangisan anaknya yang tak berhenti. 

Melihat Moms menyerah, si Kecil pun  akan belajar bahwa merengek adalah cara yang bagus untuk mendapatkan apa pun yang dia inginkan. 

Memiliki masalah kesehatan mental 

Anak-anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) , misalnya berjuang untuk berlaku manis, hanya diam dan tidak berperilaku impulsif. Kecemasan atau depresi juga dapat berkontribusi pada masalah perilaku anak. Si Kecil yang cemas mungkin menghindari pergi ke kelas yang membuat ia merasa gugup. Seorang anak yang depresi mungkin mudah tersinggung dan kurang motivasi untuk menyelesaikan tugas atau tugas sekolahnya.

Jika Moms mencurigai si Kecil mungkin memiliki masalah kesehatan mental atau gangguan perkembangan yang mendasarinya, cobalah carilah bantuan professional, seperti dengan membicarakan dengan dokter anak dan bantuan evaluasi  dari  psikolog anak. 


Baca Juga :Kesalahan Umum Orangtua Baru