Mengatakan “tidak” seringkali menjadi salah satu tugas berat bagi orang tua. Moms atau Dads bisa jadi mudah bersikap tegas jika menyangkut kesehatan dan keselamatan si Kecil. Misalnya dengan tegas melarang ia menyeberang jalan sendirian. Atau makan telur, karena si Kecil alergi terhadap telur. 

Namun, berbeda kondisinya jika si Kecil merengek minta dibelikan mainan saat Moms mengajaknya jalan-jalan ke sebuah mal, padahal mainan yang sama sudah ada di rumah. Atau sewaktu  si Kecil merengek ingin dibacakan lagi buku cerita. Padahal, sudah waktunya bagi dia untuk tidur. 

Situasi lain lagi, Moms bisa tegas mengatakan “tidak”, lahhh giliran suami yang plin-plan atau tidak tega kepada si Kecil. 

Mengapa orang tua terkadang ragu-ragu mengatakan “tidak” kepada anak? 

Ingin dicintai hingga khawatir bertengkar

Menurut Meri Wallace, LCSW, terapis anak dan keluarga, dan penulis buku Birth Order Blues dan buku Keys to Parenting Your Four Year Old, ada beberapa penyebab orangtua sering takut untuk mengatakan “tidak” dan akhirnya bersikap mengalah kepada anak mereka, antara lain: 

Moms mencintai si Kecil, dan ingin membuat si Kecil bahagia. Moms sering takut mengatakan tidak, dalam arti berusaha selalu meng”iya”kan kemauan si Kecil, itu bisa karena Moms mencintai si Kecil dan ingin si Kecil itu balik mencintai Moms. 

Dengan mengatakan “tidak”, Moms takut akan merusak hubungan bersama si Kecil. 

Akibat dari mengatakan tidak itu juga Moms merasa takut membuat marah si Kecil dan menyebabkan pertengkaran.

Pengaruh pengalaman masa kecil

Ketakutan atau kekhawatiran Moms untuk berkata "tidak" pada si Kecil, kemungkinan juga terkait pengalaman di masa kecil dalam kehidupan Moms atau Dads bersama orang tua masing-masing (kakek nenek si Kecil). 

Misalnya, jika Moms atau Dads yang sewaktu kecil mendambakan lebih banyak cinta dari orang tua biasanya akan berusaha berkata "iya" untuk berbagai permintaan anaknya. Ini sebagai cara untuk memenangkan cinta dari si Kecil dengan cara apa pun. 

Atau, jika dulu Moms atau Dads sering terlibat adu mulut atau pertengkaran dengan orang tua, mungkin, di saat punya anak ini sangat ingin menjalin hubungan yang damai dengan anak sendiri. Misalkan orang tua Moms dulu terhitung sangat irit (pelit?) dalam memberikan uang saku atau membelikan kebutuhan pribadi seperti mainan, sepatu, baju atau tas baru. Di saat sekarang bisa jadi Moms menghindari mengatakan tidak kepada permintaan anak untuk membeli mainan misalnya. Ini karena Moms mengidentifikasikan diri dengan si Kecil dan mengingat betapa buruknya rasanya ditolak terus-menerus. 

Begitu pun pada orang tua yang di masa kecil sangat ketat soal aturan dan disiplin keluarga. Misalnya harus makan, mandi dan tidur pada jam tertentu. Waktu bermain pun sangat dibatasi. Bisa jadi begitu Moms menjadi orangtua, Moms susah menolak alias sulit mengatakan tidak jika si Kecil merengek minta kelonggaran disiplin tersebut. Moms tahu persis bagaiman rasanya harus dipaksa memejamkan mata pukul 8 malam, sementara masih ingin menonton film favorit misalnya. Toh, ini hanya sesekali atau hanya mundur 1 atau 2 jam, alasan Moms mencoba ‘berdamai’. 

Yah,  pada awalnya memang toleransi bisa membuat semuanya seperti berjalan damai. Tapi rengekan si Kecil bisa jadi kian bertambah, lho. Segala aturan keluarga pun bisa buyar. 

Orang tua perlu juga menyadari bahwa merupakan hal alami bila seorang anak itu terikat pada sesuatu dan sangat menginginkan sesuatu. Nah, di sini bagaimana pun Moms dan Dads  perlu mengarahkan si Kecil. Salah satunya, bisa jadi dengan mengatakan “tidak” untuk permintaannya. 

^IK