Pengasuhan orang tua sangat berpengaruh untuk tumbuh kembang seorang anak. Setiap orang tua punya gaya pengasuhan sendiri dan tidak semua pengasuhan sempurna. Seperti gading, selalu ada retakan yang menghiasi. 

Namun, jangan sampai pengasuhan itu membuyarkan jiwa anak menjadi pemberontak atau merusak kepribadian anak. 

Berikut curhat beberapa Moms tentang perilaku orang tuanya dulu yang membuat mereka merasa tidak nyaman, trauma dan tidak percaya diri. Jadi hindarkan ya Moms…

Sulit merasa bangga

Berbeda dengan orang tua zaman now yang sering memuji dan merasa bangga dengan anak-anaknya, orang tua zaman Moms dulu, mungkin jarang sekali mengungkapkan kebanggaannya pada Moms. 

“Bila saya dipuji karena nilai akademik yang selalu baik, ibu selalu menyanggah dengan mengatakan, Ah, itu cuma kebetulan saja,  mungkin pelajaran yang dipelajari itu pas dengan soal ujian. Wong kalo di rumah itu malas belajar. Seringnya main-main sama temannya,” curhat Moms Alveria, 30 tahun. 

Mengapa orang tua Moms jarang memberi pujian? Mungkin supaya Moms  tetap menjadi anak yang rendah hati. Tidak sombong mentang-mentang dipuji. Padahal, mendapat pujian dari orang tua membuat anak merasa bangga dan terpacu ingin melakukan hal yang lebih lagi. Merasa pula diri ini berharga. Jadi sebaiknya jangan diterapkan cara seperti ini pada si Kecil, ya, Moms.  Berikan pujian pada si Kecil ketika dia meraih keberhasilan. Namun, jangan berlebihan dalam memberikan pujian, berikan sewajarnya sehingga si Kecil tidak merasa besar kepala.

Memukul anak

Dibandingkan dengan anak zaman sekarang, sepertinya anak angkatan Moms lebih sering mendapat pukulan dari orang tua. “Sampai sekarang masih membekas di ingatan saya setiap kali pukulan ayah saya melayang. Memang tidak semua pukulan itu keras. Dan, memang saya ada perilaku salah juga.  Tapi, tetap saja ada rasa kesal,  rasa malu  dan dendam. Ayah kalau memukul itu tidak lihat situasi. Pernah dilakukan di hadapan teman saya. Mau ditaruh di mana muka saya?” cerita Moms Martha, 31 tahun, tentang masa kecilnya.

Diakui oleh Moms Martha, dampak pukulan itu tidak membuat dirinya kapok. “Yang pasti hingga saat ini masih sulit  dan takut untuk jalin hubungan dekat dengan ayah. Masih trauma,” katanya.  Karena itu, memukul sudah tidak bisa lagi diterapkan untuk mendisiplinkan anak. Sebaiknya kedepankan komunikasi dan ajarkan anak tentang tanggung jawab dan konsekuensi dari sebuah perbuatan.

Prestasi dan prestasi

Pulang sekolah beragam les atau privat pelajaran menanti, Orang tua dulu bilang bahwa pelajaran itu penting supaya anak  berprestasi dan dihormati orang lain. Ada benarnya. Tapi, sebenarnya untuk siapa? Mungkin bagi sebagian anak sulit sekali untuk memahami matematika dan fisika. Atau anak memiliki bakat lain di luar pelajaran sekolah. Namun, sebagian besar orang tua sepertinya tidak mau tahu dan mengharapkan anak berprestasi di bidang akademik. 

“Masa-masa sekolah adalah masa yang sangat tersiksa bagi saya. Meski saya bisa melewati dan akhirnya memberikan gelar sarjana teknik dari universitas bergengsi, itu hanya kosong. Jiwa saya tidak di sana. Untung saya mendapatkan suami yang mengerti passion saya. Dia mendukung saya untuk sekolah fashion design yang jadi impian sejak kecil. Dan, sekarang saya sedang mengembangkan usaha di bidang ini. Terlambat memang. Dan, saya tidak mau mengulang kesalahan yang sama untuk si Kecil. Biarkan ia belajar sesuai minat dan bakatnya,”  kata Moms Melanie, 33 tahun.

Terkungkung stereotipe

Sebagian besar ibu zaman dulu  dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung perempuan itu harus penuh pengabdian kepada suami agar disayang dan dicintai. Kepentingan dan kesukaan suami harus didahulukan di atas segalanya. Kepercayaan ini mungkin coba ditanamkan juga pada Moms. Moms diminta untuk mengalah jika ada bentrokan keinginan dengan kakak yang laki-laki. Perempuan mengalah itu untuk menang, begitu mungkin kata ibu Moms. Anak perempuan juga harus pandai di dapur, sehingga Moms pun dipaksa untuk memasak dan menyiapkan segalanya untuk makan bagi ayah dan kakak laki-laki Moms. 

Apa yang dilakukan ibu Moms, di satu sisi, memang ada baiknya. Moms mungkin jadi pandai memasak dan mengelola keluarga. Di sisi lain, perlakuan itu tidak adil dan tidak mendidik. Laki-laki pun harus tahu pekerjaan rumah tangga, jika ingin rumah tangganya damai. Karena itu, tinggalkan pola mendidik anak seperti itu ya, Moms. Coba terapkan pada si Kecil yang laki-laki dan perempuan. Berikan beban tugas rumah tangga yang sama bagi keduanya. Selain itu, tanamkan pada si Kecil bahwa mereka memiliki nya suara yang sama. 
^IK