Tipe pengasuhan anak yang mungkin dianggap baik oleh Moms, namun sebenarnya bisa menjadi bumerang bagi kehidupan anak di masa depan, sebaiknya ditinggalkan ya, Moms. 

Selalu memberikan segalanya untuk anak 

Setiap orang tua pasti sayang pada buah hatinya, sehingga apa pun yang diminta akan selalu dituruti. Saat si Kecil minta mainan yang dia lihat di televisi, Moms akan membelikannya. Hal ini sering terjadi, Moms?  Yah, meski terkadang dibumbui sedikit omelan, Moms selalu memenuhi keinginan si Kecil. Begitu pula saat si Kecil enggan melakukan sesuatu, Moms berusaha memakluminya. Si Kecil layaknya anak sultan yang selalu dimanjakan dan dituruti segala keinginannya. Apalagi di kemudian hari juga si Kecil tidak dibebani tugas apapun dalam mengurus rumah. 

Cara pengasuhan seperti ini tidak baik untuk perkembangan kepribadiannya, Moms. Menuruti segala yang diinginkan si Kecil, akan membuatnya berpikir bahwa segala sesuatunya akan datang dengan mudah, dan tidak memerlukan kerja keras. Dengan membuat kesalahan ini, Moms seakan membesarkan si Kecil menjadi pribadi yang hanya ingin menerima, tidak mau berusaha untuk mendapatkan apa pun.

Mendorong perilaku yang tidak pantas

Misalnya, si Kecil melakukan perundungan pada teman bermainnya, atau mengatakan hal-hal yang tidak pantas, seperti mengejek temannya jelek, bodoh, dan lainnya. Melihat seperti ini, apa yang Moms lakukan? Apakah Moms langsung mengingatkan si Kecil dan menuntut agar dia meminta maaf karena telah bersikap jahat, atau Moms membiarkan saja?

“Namanya juga anak kecil. Dia juga nggak ngerti apa yang sudah dia omongin,” alasan Moms, tak peduli. Atau Moms melerai tingkah si Kecil tapi sambil tertawa atau tersenyum  

Moms.., tingkah anak yang buruk jangan menjadi kebiasaan. Tidak harus langsung membentak si Kecil atau sikapnya yang buruk. Tapi bantulah ia menyadari bahwa perilaku atau perkataannya itu tidak pantas. 

Jika Moms tidak bersikap tegas tentang hal ini, si Kecil akan terus melakukannya. Karena seolah-olah ia mendapat izin orang tua untuk melakukannya. Di masa depan, anak akan menjadi orang dewasa yang tidak bertanggung jawab atas tindakannya atau menuruti perilaku buruk orang lain.

Kata "tidak" menjadi jawaban untuk semuanya

“Tidak”, “jangan”, “stop/hentikan” ini adalah kata-kata yang tak jarang sering diucapkan orang tua kepada anaknya. Biasanya tipikal orang tua yang sering melontarkan kata semacam ini adalah orang tua yang disiplin dan keras terhadap anak. 

Mendisiplinkan anak dengan mengucapkan kata “tidak“ memang mudah diucapkan, ya Moms. Anak pun yang mungkin pada awalnya enggan menuruti, lama-lama akan patuh pada setiap kata “tidak” yang dengan tegas Moms keluarkan, berulang kali. 

Terkadang tegas mengatakan “tidak” memang diperlukan untuk membentuk perilaku anak. Tapi, bila kata “tidak” nyaris mendominasi pada sebagian besar reaksi Moms terhadap perilaku anak, waduh, kasihan lho si Kecil. Perkembangan mental si Kecil seharusnya membuka ruang baginya untuk mengungkapkan ide atau keinginan. Dengan belum apa-apa Moms sudah mengatakan “tidak” akan membuatnya berkembang sebagai pribadi yang tertutup. 

Akibatnya Moms, si Kecil akan lebih memilih menahan dirinya alias bungkam untuk memberitahu Moms berbagai informasi atau perasaannya.  Misal, ketika si Kecil mendapat kesulitan di sekolah, ia hanya memendamnya sendiri. Karena ia menganggap percuma memberitahu Moms karena ia mengetahui ujung-ujungnya reaksi Moms. Di masa dewasa, ia menjadi pribadi yang tertutup, dan hidup dalam ketakutan akan penolakan.

Menjadi contoh yang buruk bagi anak

Anak-anak akan dengan mudah mempelajari dan menyerap apapun yang orang dewasa ajarkan kepada mereka. Mereka adalah peniru yang baik. Ini berlaku untuk berbagai hal, baik yang berkaitan dengan pembelajaran sosial, melakukan perbuatan baik, termasuk juga  hal-hal buruk.

Jadi, jika Moms sering memperlakukan orang lain dengan buruk, ya, jangan heran si Kecil pun bersikap buruk atau kasar kepada temannya. Jika orang tua terbiasa membicarakan orang lain, ya, anak pun dengan mudah menjadi ‘lambe turah’ yang bergosip ria di belakang temannya. Anak akan menganggap bahwa perilaku wajar saja. Orang tua saya saja begitu, kok. 

Menekan emosi anak 

Pernah Moms mengatakan semacam ini kepada anak saat ia menangis atau merasa kesal: “Anak laki-laki jangan cengeng” atau “Jangan suka drama gitu, deh”. 

Moms mungkin mengatakan hal tersebut untuk menjinakkan emosi anak. Tapi sebagai orang orang tua seharusnya meminimalkan menegur emosi anak. Jika Moms menginginkan si Kecil menghentikan tangisannya, ya, katakan saja terus terang. Jangan lantas menyentak atau menyindir nyinyir untuk emosinya. 

Cara ini dapat menyebabkan fungsi kognitif terpengaruh, seperti memori. Untuk membesarkan si Kecil menjadi  orang dewasa yang sehat, bukan hanya fisiknya yang harus dijaga. Begitu pula kesehatan mentalnya. Salah satunya memastikan tidak menekan si Kecil. Coba lebih pahami perasaaan anak, tanpa memanjakannya. Misalnya saat ia menangis, biarkan sejenak. Setelah itu: “Sudah cukup ya tangisnya. Jadi, adek maunya apa?” Biarkan ia mengungkapkan perasaanya. 

Satu hal lagi Moms, sikap buruk ini juga akhirnya akan berbalik kepada Moms lho. Si Kecil akan berbalik menyentak pada Moms, “Kenapa tidak boleh? Mama dan Papa  juga melakukannya, kok.” 

Jadi, bila Moms ingin si Kecil tumbuh menjadi orang dewasa yang menghargai dan menghormati  orang lain, jadilah contoh yang baik baginya.  Berikan contoh terbaik seperti kata pepatah: “Perlakukanlah orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan.”