Mengasuh anak memang bukan tugas yang mudah. Sebuah penelitian menunjukkan kesalahan dalam pengasuhan ini akan mempengaruhi perilaku anak, bahkan hingga ia dewasa kelak. Namun, kadang-kadang  orang tua tidak  menyadari bahwa model pengasuhan yang diterapkannya itu berakibat buruk bagi anak. 

Proteksi berlebihan contohnya. Banyak orang tua berkilah merupakan cara mereka melindungi anak dari kemungkinan mengalami kecelakaan atau terkena kejahatan. 

Sebagai orang tua, wajar saja jika Moms dan Dads berusaha sebaik mungkin memberikan segalanya untuk anak atau melakukan berbagai hal untuk melindungi anak. Namun, Moms perlu  memiliki ‘batasan’ agar model pengasuhan ini tidak berakibat buruk bagi anak di masa depan.  

Menjaga anak selalu berada di zona nyaman 

Si Kecil tidak boleh mengambil air minum sendiri dari dispenser. “Nanti salah, malah mengambil air panas atau gelasnya terlepas dari tangan dan pecah. Bisa luka kakinya,” alasan kekhawatiran Moms. Semakin si Kecil bertambah usia,  Moms  tidak  membiarkan si Kecil mandiri, Moms tetap menjaga dirinya selayaknya bayi baru lahir. 

Ini salah satu pertanda Moms menginginkan si Kecil selalu berada di zona nyaman (aman?). Masalahnya Moms, semakin lama Moms terapkan tipe pengasuhan ini, akan membuat Moms menjadi orang tua  yang akan  sering mengambil keputusan bagi anak. Akibatnya, ketika dewasa, ia tidak bisa mengambil keputusan, dan selalu datang pada Moms untuk mengambil keputusan penting dalam hidupnya. Ia juga tidak berani mengambil risiko, bahkan risiko yang menjadi penting untuk kariernya di kemudian hari.

Tidak berpegang teguh pada kata dan janji

Sebuah penelitian menunjukan bahwa anak-anak kecil itu merasa mereka harus menepati janjinya. Dengan demikian, mereka juga mengharapkan orang lain (termasuk orang tuanya) dapat menepati janji mereka. 

Padahal tak jarang sebagai orang tua, kita memberikan janji-janji kepada anak sebagai cara mudah menenangkan atau memenangkan situasi. Misal dengan mengatakan, “Kalau kamu berhenti menangis, nanti mama belikan es krim” atau “Kalau adek rajin sekolah, nanti papa belikan boneka My Litte Pony”.

Sayangnya, janji ini terkadang diingkari atau terlupakan. Saat si Kecil benar-benar berhenti menangis, ia hanya diberikan susu hangat. Mana es krimnya? “Nanti adek sakit kalau makan es krim,” kata Moms tanpa merasa bersalah dengan melupakan janji. 

Okelah satu atau dua kali. Tapi jika menjadi suatu kebiasaan jangan Moms mengira si Kecil tidak mencatatnya. Kebiasan orang tua  yang  melupakan janji hadiah atau janji lainnya dapat mengakibatkan anak berpikir bahwa ibu atau ayahnya itu  bukan orang yang konsisten, bisa menyepelekan janji.

Akibatnya mungkin tidak terlihat sekarang Moms, tapi nanti beberapa tahun lagi, ketika ia beranjak dewasa. Si Kecil akan bermasalah dalam menaruh kepercayaan kepada orang lain. Atau, ia lebih memilih sesuatu yang pasti saja ia dapatkan. Ia tidak akan percaya pada suatu janji imbalan dengan jangka panjang, sekalipun sangat menjanjikan.

Tidak mendorong rasa ingin tahu

Anak-anak itu sesungguhnya pembelajar yang bersemangat. Bagi seorang anak, dunia adalah tempat untuk  dijelajahi, dan alam itu sendiri akan menimbulkan banyak pertanyaan baginya. Tentunya, orang yang anak tanya pertama kali atas keingintahuannya ini adalah Moms atau Dads. 

Sayangnya, mungkin, karena rutinitas kerja atau kesibukan mengurus rumah tangga, orang tua hanya asal menjawab. Misalnya anak bertanya tentang penyebab hujan turun. Moms hanya menjawab tak acuh:  "Ya, hujan turun dari langit,” Atau yang lebih parah menjawab tanpa logika: “Langit sedang menangis”.

Jawaban semacam seperti ini memotong rasa ingin tahu anak-anak. Di kemudian hari, bila jawaban semacam itu menjadi kebiasaan, maka dapat mencegah si Kecil untuk berpikir kritis. Ia pun tidak akan memiliki ketertarikan pada sains atau memahami bagaimana segala sesuatunya berfungsi.

Tidak meminta maaf kepada anak

Di saat sedang mengalami tekanan, misalnya dikejar deadline tugas kantor, sebagai orang tua tak jarang Moms terpicu bereaksi berlebihan terhadap polah anak. Misalnya, langsung  membentak saat si Kecil menumpahkan sedikit air minumnya saat makan.  Saking syoknya terhadap bentakan ini, si Kecil membelalak ketakutan atau ia agak tersengal karena menahan tangis. Si Kecil tidak menyangka, Moms bisa semarah itu kepadanya. 

Nah, dalam kasus seperti ini, penting bagi Moms  untuk meluangkan waktu sejenak untuk menenangkan diri. Setelah itu, mintalah maaf  dengan tulus kepada anak. Tarik napas dan bicaralah pada si Kecil.  Jelaskan Moms telah salah memarahinya berlebihan. Dan, Moms merasa menyesal membuatnya menjadi takut. 

Agar dia paham alasan Moms memarahinya, berikan contoh kepada si Kecil bahwa sesekali emosi tinggi bisa terjadi tidak pada tempatnya. Tapi di saat yang sama, ia perlu belajar untuk menyesali emosi yang berlebihan tersebut. Dan tidak mengulangi lagi tentunya.  

Bagaimana bila Moms enggan melakukannya? Si kecil bisa mengadopsi citra yang salah, Moms. Si Kecil akan melihat bahwa tidak menjadi masalah untuk mengumbar emosi dan tidak perduli perasaan orang lain. Kelak, di masa dewasanya, ia lebih memilih untuk mengabaikan perasaan orang lain dan tidak akan peduli untuk membangun kembali hubungan yang bermakna (meskipun dia, mungkin, salah).

Tidak menerima pikiran mereka

Tipe ini juga banyak dilakukan orang tua. Ketika anak mengeluarkan pendapat atau melontarka keingiannya, beberapa orang tua akan mengakhiri dengan berkata: "Pokoknya harus diikuti." Orang tua tidak mengakui pendapat anak  dalam memecahkan masalah mereka. 

Perlu Moms ingat  bahwa memberi kesempatan anak menyuarakan atau mengekspresikan pendapatnya  adalah cara bagi mereka untuk merasa berdaya dan bertanggung jawab atas keputusan mereka sendiri. Mengabaikan hal ini dapat menyebabkan si Kecil nantinya lebih memilih  menahan diri untuk tidak mengekspresikan diri. Yang lebih parah, ia merasa pendapatnya bukan hal yang penting untuk didengarkan. Ia hanya menjadi follower.