Mitos tentang infertilitas cukup banyak ya, Moms. Padahal ada kesalahpahaman tentang infertilitas  dan perawatan kesuburan secara umum yang menyesatkan, Moms. 

Infertilitas sebenarnya cukup umum. Sekitar 1 dari 8 pasangan di Amerika Serikat mengalami kesulitan untuk hamil, Moms. Infertilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk hamil setelah satu tahun hubungan seksual secara teratur  tanpa alat pengaman (KB). 

Simak artikel di bawah ini untuk meluruskan saran atau mitos yang mungkin menyesatkan

Mitos 1: Relaks saja, jangan terlalu dipikirkan

“Tenang saja, nantinya juga akan hamil”, mungkin kata-kata yang berupaya menghibur Moms yang tak kunjung hamil sering didengar dari orang-orang sekitar Moms. Saking seringnya mungkin Moms merasa muak mendengarnya. 

Kebanyakan orang masih tidak melihat infertilitas sebagai kondisi medis. Soal kehadiran anak merupakan takdir Tuhan. Sehingga Moms lebih dinasihatkan untuk berserah diri kepada-Nya dan santai saja.

Berdoa kepada Tuhan untuk mendapatkan keturunan memang hal baik. Begitu bersikap relaks. Sikap santai memang dapat membantu mengatasi ketidaksuburan yang disebabkan oleh stres kronis. Namun, infertilitas bukanlah masalah psikologis semata. Kesehatan fisik dan reproduksi Moms tidak dapat diperbaiki dengan pemikiran positif, liburan yang menyegarkan, atau pola pikir baru.

Jadi, selain berdoa dan berserah diri, Moms perlu melakukan upaya dengan  mencek kondisi medis untuk mencari tahu penyebab dan solusi infertilitas.

Mitos 2: Perlu usaha keras dan lebih keras lagi

“Kegiatan malamnya dibuat gencar. Jangan sibuk kerja terus”, “Konsultasi ke Dokter A. Banyak ibu-ibu yang berhasil hamil”, contoh beberapa saran yang Moms dengar. 

Hubungan seks memang penting untuk terjadinya kehamilan. Namun kekerapan dalam melakukan hubungan intim bukan faktor untuk mempertinggi kesuburan. 

Berupaya melakukan konsultasi dan cek medis mengenai infertilitas adalah langkah yang bagus. Namun perlu disadari bahwa melakukan terapi infertilitas bukan upaya sekali dilakukan, dan langsung jadi.

“Sekitar 50 persen pasangan yang menjalani perawatan infertilitas akan sukses mengalami kehamilan, tetapi beberapa masalah infertilitas merespons dengan tingkat keberhasilan yang lebih rendah,” kata Dr. Suheil Muasher, spesialis infertilitas di Durham, North Carolina.

Dia menambahkan, dengan mitos di atas bisa sangat mengecewakan bagi pasangan yang kurang mampu menangani beban fisik, finansial, atau psikologis dari perawatan kesuburan yang berkelanjutan. Seolah-olah mereka tidak melakukan yang terbaik untuk mendapatkan si Kecil.

Mitos 3: Ketidaksuburan adalah masalah wanita

Wanita sering menjadi sasaran topik kehamilan. Tetapi butuh upaya duo untuk membuat bayi. Infertilitas mempengaruhi pria dan wanita secara setara, Moms.

Faktanya Moms, setiap jenis kelamin memiliki gejala sendiri yang mungkin menunjukkan ketidaksuburan, seperti nyeri testis atau perubahan aliran menstruasi.

Mitos 4: Usia hanya mempengaruhi kesuburan wanita, bukan pria

Memang benar bahwa kesuburan wanita menurun seiring bertambahnya usia. Wanita mengalami penurunan kesuburan yang signifikan, terkadang hingga 50 persen, antara usia 32 dan 37 tahun, menurut Dr. Mark Surrey, ahli bedah reproduksi dan direktur medis dari Pusat Reproduksi California Selatan

Namun, ternyata pria pun mengalami perubahan kesuburan seiring bertambahnya usia. Menuurut Dr. Thomas Price, spesialis infertilitas di Duke Fertility Center, setelah usia 40 tahun, seorang pria kemungkinan akan mulai mengalami penurunan volume dan motilitas air mani.

Mitos 5: Jika sudah memiliki anak, tidak perlu khawatir tentang ketidaksuburan

Sayangnya Moms,  keberhasilan kehamilan sebelumnya tidak menjamin keberhasilan kesuburan yang berkelanjutan. Kesulitan untuk hamil bisa juga terjadi pada pasangan yang sudah memiliki anak. Ini disebut infertilitas sekunder. 

Mengapa? Karena memang terjadi perubahan, Moms, seiring waktu dan usia. Terkadang, kondisi medis baru yang mendasari,  berkembang, atau bisa jadi kondisi kesuburan yang dulu sebenarnya sudah ada, saat ini menjadi lebih buruk. Jadi, yang dulunya tidak mencegah kehamilan, sekarang menjadi masalah.

Dapat pula terjadi kehamilan sebelumnya menyebabkan infertilitas. Misalnya, komplikasi bedah atau infeksi setelah melahirkan dapat menyebabkan jaringan parut. Jaringan parut itu dapat menyebabkan kemandulan.

Jadi, meski Moms pernah hamil sendiri sebelumnya, perlu konsultasi ke dokter kandungan dan kebidanan, bila adek si sulung tak kunjung hadir.  Mungkin ada yang salah.

Mitos 6: Kesehatan tidak memengaruhi kesuburan

Pada kenyataannya, salah satu faktor pendukung kesuburan terbesar adalah kesehatan dari calon Moms  dan Dads. 

“Jika kita mencoba menjalani gaya hidup sehat, itu akan sangat membantu mengatasi masalah ketidaksuburan,” kata Dr. Diana Ramos, dokter obgin di California. “Kenali tubuh, dengarkan, dan mencoba untuk hidup sehat bahkan sebelum memulai berpikir untuk memiliki bayi.”

Terapkan pula gaya hidup sehat, seperti tidak merokok dan melakukan istirahat yang cukup. 

Mitos 7: Jika mengadopsi, akhirnya bisa ikut Hamil

Adopsi bukanlah obat kesuburan. Namun, dengan adopsi mungkin pasangan menjadi lebih relaks, karena memiliki anak, sehingga stress menunggu kehamilan bisa teralihkan. Meski demikian, baik adopsi maupun relaksasi bukanlah faktor penyebab terjadinya kehamilan. Faktor kesehatan medis dan reproduksi yang mendukung terjadinya kehamilan.