Apakah Moms terkadang berselisih paham bahkan bertengkar dengan Dads? Pernahkah terlintas di pikiran Moms bahwa Moms sedang menjalani hubungan yang salah? Moms beranggapan bahwa hubungan yang sehat seharusnya minim pertengkaran dan banyak mengumbar perhatian dan kata-kata cinta. Hmm, jangan buru-buru menganggap hubungan Moms dengan Dads itu toxic. Sebaliknya, mungkin justru itu pertanda hubungan sehat. Kok bisa? 

Moms mungkin sering melihat pasangan yang kelihatan mesra dan kerap tertangkap saling memuji satu sama lain, berakhir di pengadilan agama karena perceraian. Sebaliknya, pasangan yang sering berselisih paham justru langgeng dan bahagia. 

Seorang pakar hubungan, Mark Manson mengungkapkan bahwa banyak kebiasaan yang dianggap tidak sesuai narasi tentang hubungan sehat, sebenarnya merupakan bahan yang diperlukan untuk hubungan yang langgeng. 

Mengutip dari laman miliknya, Mark Manson mengungkap beberapa kebiasaan yang dianggap toxic, yang justru bikin hubungan langgeng. Apa saja? 

Membiarkan konflik tidak selesai

Moms dan Dads terkadang membiarkan beberapa masalah menggantung tidak selesai? Jangan kecil hati, Moms.  Itu salah satu tanda hubungan Bahagia, Moms. Menurut Manson gagasan bahwa pasangan harus berkomunikasi dan menyelesaikan semua masalah mereka adalah mitos. 

Dalam penelitiannya terhadap ribuan pasangan menikah yang bahagia, beberapa di antaranya telah menikah selama lebih dari empat puluh tahun, ditemukan bahwa sebagian besar pasangan sukses memiliki masalah yang belum terselesaikan, bahkan masalah tersebut telah bersama mereka puluhan tahun. 

Menariknya, banyak pasangan yang gagal, justru melakukan sebaliknya. Mereka bersikeras untuk menyelesaikan semuanya,  karena percaya bahwa tidak boleh ada perselisihan di antara mereka. 

Mengapa bisa terjadi demikian? Jawabannya adalah pasangan yang sukses menerima dan memahami bahwa beberapa konflik tidak dapat dihindari, bahwa memang akan selalu ada hal-hal yang tidak mereka sukai dari pasangan mereka, atau hal-hal yang tidak mereka setujui,  dan semua itu tidak masalah. 

Moms tidak perlu mengubah suami untuk menyukai atau pun mencintai apa yang Moms sukai. Begitu juga sebaliknya, suami tidak perlu mengubah Moms untuk menyukai apa yang ia sukai. Moms dan suami boleh tidak bersepakat atau tidak menyukai apa yang dilakukan masing-masing. Kunci suksesnya adalah Moms dan suami tidak boleh membiarkan beberapa ketidaksepakatan itu menghalangi hubungan yang bahagia dan sehat. 

Boleh saja saling menyakiti perasaan

Para suami sering berbohong dalam situasi untuk membuat Moms bahagia. Misalnya, Moms bertanya apakah baju yang Moms pakai itu terlihat bagus? Apakah masakan Moms, enak? Untuk menyenangkan hati Moms, suami mungkin akan mengatakan bagus dan enak. 

Apa yang para suami lakukan itu sebenarnya keliru, Moms. Kejujuran dalam hubungan itu lebih penting daripada merasa menjadi suami atau istri yang baik. Meskipun terdengar pahit dan nyesss ke hati, kejujuran perlu diungkapkan. Dengan begitu Moms dan suami bisa saling memperbaiki. 

Ketika prioritas tertinggi setiap pasangan adalah untuk selalu membuat diri sendiri, atau pasangan kita merasa baik, maka pada akhirnya tidak seorang pun merasa baik. Dan tidak heran jika hubungan seperti itu akan berantakan tanpa  disadari. 

Jadi Moms, kalau Moms merasa penat dan ingin lebih banyak waktu untuk sendirian, katakan pada suami, tanpa memberi kesan menyalahkan, misalnya, mengatakan, “Gara-gara kamu, saya jadi pusing.” 

Bagaimana sikap suami? Meski terdengar tidak enak di telinga, suami juga harus mampu mendengarnya tanpa menyalahkan Moms. Sikap Moms juga harus sama. Ketika suami mengatakan bahwa Moms terlalu banyak mengatur, misalnya, Moms harus mampu mendengarnya tanpa menyalahkannya. 

Percakapan-percakapan seperti ini sangat penting jika Moms dan suami ingin mempertahankan hubungan yang sehat, hubungan yang memenuhi kebutuhan kedua orang. 

Menjaga jarak 

Pasangan bahagia selalu terlihat bersama? Ah, itu anggapan yang keliru, Moms. Sebaliknya, pasangan bahagia justru tidak sering terlihat bersama. 

Tanda lain dari hubungan yang sehat adalah tidak semua hal dilakukan bersama, misalnya menekuni hobi yang sama, selalu traveling bersama, nonton dan makan di luar bersama, sampai ke salon pun bersama pasangan. Pokoknya, apalah aku tanpa kamu di sisiku. 

Padahal, setiap pasangan penting sesekali untuk menjaga jarak satu sama lain. Tidak semua hal harus dilakukan bersama pasangan. Misalnya Moms bisa melakukan sesuatu tanpa melibatkan pasangan, mempertahankan beberapa hobi atau minat yang hanya ‘milik’ Moms, sesekali bepergian bersama teman-teman, atau lainnya. Dengan cara ini, hubungan akan lebih sehat. Moms tidak kehilangan jati diri dan dalam ‘keterpisahan’ itu, Moms jadi bisa menyadari alasan Moms mencintai suami. 

Menjaga jarak dengan suami itu seperti oksigen untuk bernapas, Moms. Tanpa hal ini, api di antara Moms dan suami akan padam dan apa yang dulunya percikan api, hanya akan menjadi gesekan. 

Menerima kekurangan pasangan

Setiap orang memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan. Moms tidak pernah bisa memaksa suami untuk berubah, begitu juga suami tidak akan pernah bisa membuat Moms berubah seperti ekspektasi dia. 

Matrik paling akurat untuk cinta Moms pada suami adalah bagaimana perasaan Moms tentang kekurangan suami. Jika Moms menerimanya dan bahkan mengagumi beberapa kekurangannya-misalnya obsesif suami terhadap kebersihan, tidak romantis. Dan di sisi lain, suami dapat menerima dan bahkan mengagumi beberapa kekurangan Moms, bisa dipastikan itu adalah tanda keintiman sejati. 

Penting diingat nih, Moms, cinta mungkin gila dan tidak rasional, namun cinta terbaik bekerja ketika irasionalitas kita saling melengkapi dan kekurangan kita saling memikat. 

Jadi Moms, tidak perlu resah dengan ketidaksempurnaan. Mungkin pada awalnya kesempurnaan Moms dan suami yang menarik satu sama lain.  Namun ketidaksempurnaan masing-masing lah yang memutuskan apakah Moms dan suami akan tetap bersama atau tidak.