Usia pernikahan Moms dan Dads bisa dikatakan masih dalam masa honeymoon. Masa indah-indahnya untuk menikmati kebersamaan.  Moms dan Dads berjanji untuk selalu setia, baik dalam kondisi sulit maupun bahagia. 

Sebagai pengantin baru, rasanya tidak akan ada hal apapun yang memggoyahkan cinta Moms berdua Dads. Apalagi sebelum memutuskan menikah telah menghabiskan waktu berpacaran yang cukup lama. Moms dan Dads tentu merasa sudah sangat mengenal karekter dan kebiasaan luar dan dalam. 

Namun, menikah itu berbeda dengan berpacaran, meski Moms dan Dads menjalani masa berpacaran yang lama dan intens. “Banyak hal kecil dari perilaku pasangan yang sebelumnya tidak terasa mengganggu atau bahkan terasa lucu, bisa tiba-tiba terasa mengganggu, ketika pasangan mulai memikirkan perilaku ini akan terjadi sepanjang pernikahan,” kata Amy McManus, terapis hubungan dan pemilik Thrive Therapy, Inc. di Los Angeles. 

Kenyataan, menurut McManus bahwa banyak  newly wed tidak siap menghadapi tantangan realitas pernikahan yang akhirnya menjadikan luka sepanjang pernikahan. Berikut adalah 6 kesalahan pernikahan paling umum yang dilakukan pasangan pengantin di tahun pertama pernikahan mereka:

#1: Tidak membahas ekspektasi masing-masing sebelumnya

Adalah normal untuk menjalin hubungan, dan terutama pernikahan, dengan harapan tertentu, seperti Moms berdua Dads akan berbagi keuangan, Moms ingin segera memiliki momongan, atau mungkin Moms ingin menunda dulu agar lebih banyak masa indah bersama Dads sebelum si Kecil hadir. 

Nah, apakah ekspektasi semacam ini sudah Moms bicarakan sebelumnya? Ternyata,  pasangan pernikahan  terkadang lupa membicarakan harapan-harapan untuk pernikahan.  Memang tidak apa-apa untuk memiliki harapan seperti itu, namun menurut McManus, jangan berasumsi bahwa pasangan langsung  setuju tentang harapan Moms tanpa mendiskusikannya. 

"Jika pasangan tidak sepakat tentang beberapa hal mendasar dalam rencana hidup perkawinan yang dijalani, tak ada salahnya  mendapatkan bantuan profesional dari terapis perkawinan," katanya. “Terapis yang terlatih dalam terapi pasangan dapat memberi kerangka kerja untuk mendiskusikan perbedaan tersebut dengan cara yang tenang, serta membantu menyelesaikan masalah  untuk mencapai pemahaman tentang satu sama lain dan lebih penuh kasih daripada sebelumnya.”

#2: Membandingkan diri dengan pengantin baru lainnya

“Foto-foto pernikahan bahagia di instagram mungkin bukan potret sebenarnya dari perkawinan seseorang. Foto di media sosial itu tidak bisa mengungkap sisi terdalam dari perkawinan. Harusnya semua tahu. Jadi, sebaiknya jangan  membandingkan pernikahan Moms dengan perkawinan yang sempurna di media sosial,” kata McManus.

Membandingkan pernikahan Moms dan Dads dengan pernikahan orang lain, baik yang terlihat di sosial media maupun dalam kehidupan nyata,  hanya akan menimbulkan kekecewaan.  McManus menyarankan agar melakukan instropeksi diri untuk mencari tahu alasan Moms merasa pernikahan orang lain lebih baik. “Cobalah ikuti terapi psikolog untuk mencari tahu  dari mana rasa tidak aman ini berasal,” katanya. 

Terapi individu juga dapat memberi Moms cara berkomunikasi lebih baik dengan pasangan dan meningkatkan hubungan—bahkan jika Dads tidak pernah pergi dengan Moms untuk terapi.

#3: Tidak mengakui perubahan dalam hubungan

“Banyak pasangan, terutama mereka yang telah lama berpacaran sebelum menikah, akan mengatakan bahwa tidak ada yang berubah ketika mereka menikah,” catat Talya Knable, konselor profesional klinis. 

Dalam kenyataannya pernikahan itu bersifat dinamis. Penting bagi Moms untuk tidak menutup mata terhadap perubahan yang terjadi. Komitmen Moms dan Dads untuk selalu bersama seumur hidup tidak menjadikan perubahan itu akan teratasi begitu saja. Coba terima perubahan yang terjadi dalam hubungan, carilah cara  untuk menghargai dan berkompromi dengan perubahan ini. Begitu saran Talya. 

#4: Berusaha selalu ‘menang’ dalam pertengkaran

Bertengkar adalah bagian yang sangat normal dari hubungan yang sehat, sepanjang pertengkaran ini berlangsung fair. Pertarungan yang adil itu berarti tidak berfokus pada siapa yang benar, melainkan apa  yang terbaik untuk menyelesaikan masalah yang ada. “Sangat mudah untuk menjadi reaktif dan mengumbar berbagai argumen, yang akhirnya pertengkaran itu tidak  mengarah ke mana-mana,” kata Tina B. Tessina, psikoterapis dan penulis How to Be Happy Partners: Working It Out Together. “Ketika pasangan menjadi sangat reaktif,  mereka tidak bisa membicarakan atau menyelesaikan apa pun,” ujarnya.

Sebagai gantinya, Tessina merekomendasikan untuk Moms dan Dads hentikan beradu argumen. Duduk tenang. Dengarkan masalah masing-masing, dan fokus untuk mencari  solusi. “Apa yang akan menyelesaikan masalah? Apa yang masing-masing inginkan? Bagaimana Moms dan Dads bisa mewujudkannya?” hal semacam itu perlu dikedepankan.

#5: Mengandalkan seks untuk membuat segalanya baik-baik saja

"Make up sex", melakukan hubungan intim  ketika pertengkaran dapat membantu meredakan ketegangan saat terjadi pertengkaran. Tapi apakah persoalan telah selesai? Cara ini ibarat seperti menyapu masalah dan menyimpannya di bawah karpet. Ini akan membuat Moms merasa lebih baik untuk saat ini, tetapi jika seks tidak diikuti untuk langkah menyelesaikan masalah bersama, pada akhirnya perdebatan akan terus terjadi. 

“Seks adalah sumber energi yang penting mempertahakan kebersamaan dalam pernikahan, Tetapi, tidak akan berhasil  jika salah satu pihak tidak merasa lagi seperti pasangan yang bahagia,” katanya.

#6: Setuju dengan apa pun yang dikatakan pasangan

Berikan kata setuju untuk Dads tentang hal-hal yang menurut Moms tidak terlalu penting Tetapi jika menyangkut hal-hal mendasar dan penting bagi Moms, jangan katakan setuju meskipun dengan alasan untuk menjaga kedamaian dalam rumah tangga. 

“Jika ada sesuatu yang mengganggu, hal terbaik yang dapat dilakukan adalah belajar bagaimana mengomunikasikannya kepada pasangan dengan cara yang tidak menyalahkan atau mengancamnya,” kata McManus. 

Ungkapkan pendapat Moms. Bisa jadi reaksi Dads akan menaikkan alis mata tanda tak setuju, atau membantahnya. Tapi ajaklah ia untuk mendengarkan dan memahami alasan di balik pendapat  tersebut. Saling mendengarkan dan memahami menjadi fondasi pernikahan yang kokoh dan langgeng.