Dads adalah suami dan ayah yang hebat, kecuali masalah amarahnya. Duuh, setiap kali emosinya tersulut,  rasanya Moms dan anak-anak ingin segera menyingkir saja dari muka bumi ini. 

Kemarahannya benar-benar merusak ketenangan dan kedamaian dalam keluarga. “Memang sih, kemarahannya hanya sebatas omongan. Tidak memakai fisik. Dan kemarahannya muncul hanya sesekali saja. Tapi tetap saja terasa menakutkan,” keluh seorang Moms. 

Moms, menghadapi suami pemarah memang tak jarang merasa seperti berjalan di atas kulit telur. Harus hati-hati sekali. Namun, bukan berarti Moms perlu menjauhi Dads agar tidak kena amarahnya. Justru Moms sebagai istri menjadi orang yang dapat memainkan peran paling kuat dalam menenangkan pria hiper-defensif.

Berikut delapan cara memahami, meredakan hingga mencegah kemarahan suami yang bisa Moms upayakan: 

Lihat kemarahannya sebagai panggilan untuk meminta bantuan

Coba melihat kemarahan Dads itu sebagai tanda bahwa ada sesuatu yang perlu diselesaikan. Layaknya indikator lampu menyala di dasbor mobil yang memberikan tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres di mobil, nah,  begitu pula kemarahan Dads ini. 

Ia marah, berarti ia berada  dalam tekanan psikologis. Pahami, lalu tawarkan bantuan. Misalnya suami ngomel karena tidak menemukan barang yang dicarinya. Moms tanyakan: “Apa yang papa cari? Sini mama bantu cari. Mungkin terselip atau tidak disengaja berpindah.”

Tetap tenang (bahkan ketika dia tidak)

Jangan langsung ikut tersulut emosi. Coba Moms tetap kalem, bahkan saat Dads masih ngomel panjang lebar. Respons balik Moms yang juga panas  hanya akan meningkatkan ketegangan. Meski menyebalkan, tetap fokus: Moms ingin agar kemarahan Dads segera reda. 

Tidak gampang, tapi coba latih kesabaran. Saat Moms merasakan emosi sendiri meningkat, berhentilah sejenak, dan hiruplah sensasi tidak nyaman di tubuh, lalu buang dengan hembusan napas. Lalu, fokus pada apa yang membuat Dads marah, bukan emosi yang ditampilkannya.

Buat dia merasa aman secara emosional

Pria pun membutuhkan keamanan emosional seperti halnya wanita, Moms. Saat dia marah, meski membuat hati Moms ciut, jangan tinggalkan Dads. Tetap di sisinya. Simak inti kemarahannya, dan tawarkan solusi atau bantuan tanpa mengguruinya. Bila tidak terpikirkan solusi untuk bantu dirinya saat ini, ya tidak apa-apa. Diam, dan tawarkan hal lain yang sekiranya bisa meredakan. Seperti: “Papa, baru pulang. Capek kan… Mau mandi atau makan dulu? Nanti persoalan papa tadi ‘omongin’ (marah) kita bicarakan lagi setelah perut papa kenyang dan tubuh papa segar.”

Jangan berasumsi

Asumsi atau "membaca pikiran" sering kali lebih berbahaya daripada kebaikan. Jadi, jangan berasumsi Moms mengetahui penyebab kemarahan suami.  Lebih baik ajukan pertanyaan dengan nada simpati. “Pa, ada apa? Mama boleh tahu, penyebab papa marah?”

Jika suami diam atau menolak menjawab, tetap sabar ya Moms… Tunggu beberapa saat. Setelah emosinya agak reda, coba  tanyakan kembali. “Pa, kenapa tadi marah banget. Mama dan anak-anak khawatir,  lho. Cerita dong. Adakah yang salah? Jadi, bisa kita perbaiki bersama.”

Dengarkan saja dia

Kemarahan meningkat ketika Dads merasa dia tidak didengar atau dihormati. Jadi, dengarkan dulu. Jadi juga pendengar reflektif. Pastikan Moms menegaskan kembali apa pun ditumpahkan Dads untuk penyebab kemarahannya. “Jadi, Papa tadi marah karena tidak suka melihat sofa yang Mama beli. Boleh tahu, tidak sukanya karena apa? 

Dengarkan alasannya dan validasi. Karena, kita semua ingin dipahami. Misalnya Dads mengatakan karena Moms membeli tanpa izinnya terlebih dulu. Jika ini sikap yang salah, Moms katakan dan berikan alasan dari sisi Moms: “Iya memang saya salah tidak minta izin dulu. Saya suka banget  dengan modelnya, dan kebetulan ditelepon, saya dapat arisan. Ya sudah saya beli. Apalagi sofa kita sudah rusak. Maaf ya, Pa…  ini mengingatkan saya untuk lain kali memberitahu Papa dulu.”

Tangkap kemarahan lebih awal

Mencegah lebih baik daripada mengobati. Begitu pula untuk kemarahan. Apalagi kemarahan meluapkan energi yang bisa menusuk siapa pun yang mendengarnya, termasuk anak-anak. Walaupun kemarahan ini bukan ditujukan kepada diri mereka. 

Jadi, coba kenali berbagai hal yang bisa memicu kemarahan suami. Misalnya, dia tipikal tepat waktu, ya, buatlah segalanya on time. Jika memang akan terlambat, katakan lebih dulu. Jangan sampai menunggu kemarahannya muncul. Suami suka marah bila makan restoran itu penyajiannya lama. Di sini, Moms bisa melakukan reservasi terlebih dulu. Minta kirim daftar menu, lalu pilih, setidaknya untuk menu utama. Sehingga, saat Moms dan keluarga datang, semuanya cepat tersaji. 

Semakin cepat Moms mengenali potensi kemarahan suami, maka semakin besar kemampuan Moms untuk merespons dan mengelola situasi sebelum menjadi tidak terkendali. 

Di samping hal-hal di atas, Moms juga perlu pelan-pelan mengarahkan Dads untuk mengekspresikan emosinya lebih baik. Misalnya, mintalah Dads untuk menurunkan tone suara kemarahannya. Apalagi bila di depan umum atau di depan anak. Jika perlu, ajaklah Dads untuk berkonsultasi dengan ahlinya untuk terapi anger management. Karena, kemarahan bila semakin sering terjadi dan sulit dikontrol akan bisa menyulitkan Dads juga, bukan hanya di dalam keluarga, tetapi mungkin juga di lingkungan pekerjaaan dan sosialnya.

^IK