Sejak 1992, tiap 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia. Pada tahun ini, masyarakat dunia sedang berjuang melawan situasi pandemi yang tak menentu sehingga memengaruhi kehidupan termasuk mental. Karena itu, organisasi kesehatan dunia (WHO), mengusung peningkatan kepedulian terhadap kesehatan mental, sebagai tema kampanye Hari Kesehatan Mental Sedunia 2020.

Baca Juga : Jaga Kesehatan Mental Saat Tinggal di Rumah

Tantangan ibu hamil di masa pandemi 

Bagi Moms yang hamil, di masa pandemi ini,  tantangan menjadi dua kali lipat lebih berat dibanding biasanya. Di luar situasi pandemi saja, Moms hamil rentan mengalami kesulitan dalam mengelola emosi, apalagi di situasi yang tidak menentu seperti sekarang ini. 

Kehamilan membuat perasaan campur aduk. Tak sedikit Moms yang dilanda rasa khawatir berlebih. Walau biasa terjadi, terutama selama kehamilan pertama Moms atau kehamilan yang tidak direncanakan. Kondisi ini akan menjadi lebih sulit jika Moms juga mengalami depresi atau kecemasan. 

Depresi adalah kesedihan, down, atau mudah tersinggung yang dirasakan seseorang selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Depresi selama kehamilan dapat disebabkan oleh beberapa alasan, misalnya ketika Moms tidak senang dengan kehamilannya atau mengalami stres di tempat kerja atau di rumah.

Moms berisiko mengalami depresi ketika hamil hingga beberapa bulan setelah melahirkan. Kondisi ini seringkali disalahartikan sebagai gejala baby blues yang dialami banyak Moms setelah melahirkan. Namun, depresi bisa ditangani jika Moms segera meminta bantuan ahli saat merasakannya.

Baca Juga : Apa Itu Baby Blues Syndrome?

Tanda depresi 

Tanda-tanda umum depresi misalnya perubahan nafsu makan, tiba-tiba makan terlalu banyak atau sebaliknya tidak berselera makan. Pola tidur juga berubah, mengalami kesulitan tidur atau malah terlalu banyak tidur. Kelelahan atau kekurangan energi, merasa sangat sedih, putus asa, atau tidak berharga. Menangis tanpa alasan, hingga kehilangan minat pada sesuatu yang dulunya Moms senangi. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan Moms, karena Moms akan  mengalami kesulitan dalam merawat si Kecil. Pasalnya, ketika depresi Moms tidak ingin menghabiskan waktu bersama si Kecil. 

Jika dibiarkan, Moms hamil yang mengalami depresi cenderung kurang mendapatkan perawatan sebelum melahirkan, tidak makan dengan baik, dan tidak cukup istirahat. Hal ini dapat meningkatkan risiko keguguran, melahirkan sebelum waktunya (prematur) atau melahirkan bayi yang terlalu kecil (berat badan lahir rendah).

Jika depresi tidak ditangani selama kehamilan, dampaknya berujung pada depresi pasca-persalinan. Depresi pasca-persalinan merupakan kondisi serius yang dapat berlangsung berbulan-bulan setelah melahirkan dan dapat memengaruhi cara Moms menjalin ikatan dengan si kecil.

Dampak depresi 

Depresi dapat menyebabkan Moms tidak konsisten dalam merawat si Kecil. Karena di satu waktu Moms mencurahkan segala kasih sayang, namun waktu berikutnya justru menarik diri dan bersikap dingin pada anak. Moms yang mengalami depresi kemungkinan tidak menanggapi perilaku anak sama sekali atau malah menanggapi dengan cara yang negatif. Hal ini tentu memengaruhi tumbuh kembang si kecil, tergantung usianya. 

Keterikatan emosional yang dalam antara Moms dan bayi, terbentuk ketika Moms menanggapi kebutuhan si Kecil secara konsisten dengan cara yang hangat dan sensitif. Menggendong, mengayun, atau berbicara dengan lembut kepada bayi dapat membantu meningkatkan ikatan emosional tersebut. Ikatan ini menjadi fondasi yang kokoh dalam hidup si Kecil seterusnya. Anak akan merasa aman dan membantunya belajar mempercayai orang lain. Jika hal ini tidak terbentuk, dapat menyebabkan masalah pada bayi hingga ia besar.

Bayi yang tidak memiliki keterikatan yang aman dengan Moms dapat mengalami kesulitan berinteraksi dengan Moms, pasif, atau perkembangannya lebih lambat. Sementara balita akan menjadi kurang mandiri, tidak mau berinteraksi dengan orang lain, sulit disiplin, bersifat agresif dan destruktif, atau kesulitan berada di sekolah.

Hal ini dapat berlanjut pada anak di usia sekolah, ditandai dengan masalah perilaku, kesulitan belajar, berisiko lebih tinggi mengalami ADHD dan gangguan hiperaktif, kesulitan di sekolah, atau berisiko tinggi mengalami kecemasan, depresi, dan gangguan mental lainnya. 

Sebelum hal-hal tersebut terjadi, segera cari bantuan ahli, psikolog, atau terapis jika Moms mengalami kesulitan dalam mengelola emosi agar segera mendapat pertolongan.

Baca Juga : 3 Kegiatan Seru untuk Ibu Hamil Saat Pandemi