Masa kanak-kanak merupakan masa yang menyenangkan, namun terkadang anak-anak mengalami kejadian yang membuatnya trauma. Jika trauma tidak ditangani sedini mungkin, bisa berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisiknya di kemudian hari. Maka, penting bagi Moms untuk memahami dan menghadapi anak yang trauma dengan baik.

Respons emosional

Trauma adalah respons emosional terhadap peristiwa yang mengancam atau membahayakan. Bahaya dapat bersifat fisik atau emosional, nyata atau dirasakan, dan dapat mengancam si Kecil atau seseorang yang dekat dengannya. Kejadian ini bisa terjadi sekali atau berkali-kali pada anak.

Kejadian traumatis yang dialami anak misalnya pelecehan (fisik, seksual, atau emosional), pengabaian dan dampak dari kemiskinan. Bisa juga karena terpisah dari orang yang dicintainya, perundungan, menyaksikan kekerasan pada orang yang dicintainya atau hewan peliharaan. Selain itu, bencana alam atau kecelakaan, perilaku orangtua yang tidak seharusnya akibat kecanduan atau gangguan mental, juga bisa menyebabkan trauma pada anak.

Dampak trauma yang tidak disembuhkan bagi anak dapat memengaruhi empat aspek dalam hidupnya, yaitu fisik, pikiran, emosi atau perasaan, dan perilaku.

Baca Juga : Jaga Kesehatan Mental Saat Tinggal di Rumah

Fisik anak yang mengalami trauma, tidak mampu mengontrol respons terhadap stres. Akibatnya kemungkinan besar anak mengalami penyakit kronis hingga dewasa, seperti penyakit jantung atau obesitas. Trauma juga berdampak pada pikirannya, yaitu kesulitan dalam berpikir, belajar, konsentrasi, dan gangguan memori.

Emosi anak juga bisa terganggu karena trauma. Anak yang mengalami trauma cenderung memiliki kepercayaan diri rendah, merasa tidak aman, ketidakmampuan mengatur emosi, kesulitan membentuk hubungan dengan pengasuh, bermasalah dalam pertemanan, memiliki trust issue, hingga depresi dan kecemasan.

Baca Juga : Tip Pupuk Rasa Percaya Diri Pada Anak

Tubuh, otak, dan sistem saraf anak yang trauma beradaptasi untuk melindungi mereka dari bahaya, inilah yang menyebabkan anak agresif, tidak percaya orang lain, tidak patuh orang tua, hingga disosiasi. 

Beri dukungan 

Mengasuh anak yang trauma memerlukan perubahan perspektif Moms dalam melihat si Kecil sebagai “anak nakal” menjadi “anak yang mengalami hal-hal buruk”.

Walau efek trauma pada anak cenderung berdampak jangka panjang, namun dengan dukungan Moms, anak dapat menjadi lebih baik. 

1. Mengidentifikasi pemicu trauma

Penting bagi Moms untuk mengetahui apa yang mengganggu dan memicu ketidaknyamanan pada si Kecil, apakah itu perkataan atau sikap tertentu. Nah,  Moms dapat menghindarinya agar si Kecil tidak teringat pada kejadian traumatis.

2. Hadir secara fisik dan emosional

Terkadang anak cenderung menghindar dari Moms, namun Moms dapat mencoba untuk memberikan perhatian, rasa aman, dan dukungan dengan cara yang anak terima. 

3. Merespons, bukan bereaksi

Reaksi Moms mungkin bisa memicu anak yang sedang merasa tidak baik. Ketika ia sedih, kecewa, atau merasa down, dengarkan, respons dengan tenang, menurunkan suara, memvalidasi perasaannya, meyakinkan, dan jujur. Jangan menampakkan emosi atau malah menyalahkan anak atas apa yang terjadi.

4. Menghindari hukuman fisik

Terutama pada anak yang trauma pada kekerasan fisik, hukuman fisik dapat membuatnya stres dan panik. Selain tidak baik bagi perkembangan anak secara umum, hukuman fisik dapat memperburuk kondisi anak yang trauma. Moms tentunya tidak ingin Moms menjadi bagian dari trauma buruk si Kecil.

5. Konsisten dan sabar

Tiap orang sembuh dari trauma dengan cara dan waktu yang berbeda. Kesabaran dan konsistensi Moms dapat membantu si Kecil untuk sembuh lebih cepat.

6. Mendorong kepercayaan dirinya

Pengalaman positif dapat membantu anak sembuh dari trauma, misalnya belajar hal baru, mengikuti kegiatan komunitas, membuat resolusi, atau mengikuti kegiatan sukarela.

Jika kondisi akibat trauma anak tidak juga membaik, maka ini waktunya untuk meminta bantuan dari psikolog anak.

Baca Juga : Dampak Pola Asuh Overparenting pada Anak